Satmoko Budi Santoso
JAUH-jauh dari Perancis, pakar strukturalisme bahasa seperti Lucien Goldman sudah memperingatkan perihal pentingnya hubungan sastra dan masyarakat sebagai hubungan simbiose mutualisma: karya sastra merupakan abstraksi persoalan masyarakat, dan masyarakat membutuhkannya karena bernilai reflektif, juga mengemban perspektif solusi.
Dalam konteks paling riil, hubungan sastra dan masyarakat terjembatani karena ada media (koran atau buku) yang secara diam-diam mengatur siklus rasionalisasi. Nah, di Indonesia, diakui atau tidak, pasar buku sastra merupakan pasar yang selalu dilematis. Misalnya saja, dicetak berapa pun, buku karya sastra selalu terkena ancaman jeblok di pasaran. Cetak buku sastra yang rata-rata hanya 1000-an eksemplar, paling-paling akan terjual habis dalam jangka waktu lebih dari satu tahun. Memang, ada terobosan menarik seperti yang dilakukan Penerbit Buku Kompas yang berani meluncurkan buku karya sastra dengan cetak pertama 3000 eksemplar.
Masalah rasionalisasi buku sastra yang jeblok di negeri sendiri ini memang merupakan persoalan klasik, namun tak akan pernah up to date untuk diperbincangkan karena tak mungkin tercerabut dari pertumbuhan masyarakat itu sendiri. Seberapa pun kacangannya karya sastra, tetap ada pembaca yang mencari, sekalipun hanya sebagai selingan kesuntukan, bukan serius mau menelaah. Usaha mengurai persoalan pasar yang dilematis inilah yang saya kira cukup urgen diperhatikan, karena tentu ada indikasi penyebabnya.
Pertama, buku-buku karya sastra selalu bernilai mengasingkan “diri mereka sendiri”, tidak marketable. Dari judulnya saja, kerap buku sastra sudah memuat idealisme berlebih, judul-judul metaforis, yang menjemukan publik awam. Kedua, ketidakjelasan visi estetika kebahasaan sehingga membuat pembaca langsung memvonis sebagai karya yang menjenuhkan.
Pada point persoalan pertama, setidaknya bisa diambil solusi untuk menerbitkan buku-buku karya sastra yang diniatkan sebagai jalan menjembatani antara publik sastra dan publik awam. Dalam konteks ini perlu ditegaskan bahwa publik sastra biasanya cukup mengenal nama penulisnya saja sudah bisa membayangkan pencapaian estetik karya sastra yang ada di pasaran. Karenanya, yang terpenting adalah mensiasati judul dan kemasan, sehingga publik awam pun merasa terlibat untuk membaca dan memiliki. Toh urgensi dan “ruh” karya sastranya tak musnah begitu saja.
Secara riil, bisa ditengok kasus buku-buku Agus Noor maupun Seno Gumira Ajidarma yang sangat tahu selera pasar, terjual laris manis tanjung kimpul bak kacang godog. Misalnya saja, ketika menerbitkan buku Memorabilia (Yayasan untuk Indonesia, 1999) dan Bapak Presiden yang Terhormat (Pustaka Pelajar, 2000) Agus Noor membayangkan publik sastra seriuslah yang akan mengoleksi bukunya. Namun, ketika menerbitkan Selingkuh itu Indah (Galang Press, 2003) Agus Noor sadar akan publik yang “cair”, di luar kaum sastrais.
Begitu pula dengan Seno Gumira Ajidarma, melakukan kompromi pasar yang akan mengoleksi buku-bukunya, lewat judul-judul seperti Negeri Kabut, Sebuah Pertanyaan untuk Cinta, Sepotong Senja untuk Pacarku, maupun Kematian Donny Osmond. Sekadar informasi tambahan, buku Selingkuh itu Indah maupun Sebuah Pertanyaan untuk Cinta malah sempat mejeng di sebuah acara sinetron serial teve untuk sebuah adegan pernyataan cinta.
***
KESADARAN rasionalisasi pada publik yang pas inilah saya kira varian eksistensi sastra yang tak bisa dikesampingkan, agar tidak selamanya menghuni asumsi sebagai “menara gading”.
Pada point persoalan kedua, yakni perihal identitas visi estetik kebahasaan juga perlu dikritisi, karena hal ini akan menyangkut selera publik yang biasanya “kejam”: kalau berbau keterpengaruhan -- meskipun hanya teknik bercerita atau gaya bahasa -- maka dengan sendirinya publik sastra maupun publik awam akan lari tunggang-langgang, tak jadi mengoleksi buku yang dimaksud. Untuk persoalan ini pula, jika eksistensi kritikus sastra Indonesia tidak bisa diharap karena lama tertidur pulas, sebaiknya ditumbuhkan kesadaran akan pentingnya operasi intertekstualitas, salah satu jalan yang paling mungkin adalah lewat tangan redaktur maupun editor buku yang sudi menggelembungkan isu polemik atas dasar telaah teori atau pisau analisis tertentu. Ingat, misalnya, dalam peta kesusastraan Indonesia bukankah pernah terguncang karena polemik teks-teks “puisi gelap” Afrizalian? Banyak corak puisi yang lahir menjadi sejenis dan seragam dengan karya Afrizal Malna?
Tentu saja, di masa depan, publik yang mencari buku sastra akan semakin beragam. Antologi puisi Dorothea Rosa Herliany yang bertajuk Kill The Radio (Indonesia Tera, 2001) menurut saya mengalami “bunuh diri” pasar secara perlahan-lahan karena sedikit bernilai tidak marketable. Kenapa tidak diberi judul Surat Cinta, misalnya, yang di dalam buku tersebut puisi Surat Cinta juga sangat menarik dan lebih bisa diterima publik yang beragam? Selain publik sastra yang akan meresponsnya, tentu juga bisa sebagai kado pernikahan, kado ungkapan hari valentine, dan sebagainya.
Inilah paradoks, dilema, yang konkret dihadapi dalam kaitannya dengan surplus buku-buku sastra. Bagi saya, jika tidak berhati-hati, justru dalam era euforia “pesta penerbitan buku” kita akan “bunuh diri” dalam versi yang lain, seolah-olah sudah menerbitkan buku dan dibaca ribuan orang, namun entah siapa yang sesungguhnya peduli. Kalaupun laku, apakah ada anasir the invisible hand (tangan gaib) dalam jual beli buku sastra?
***
DALAM situasi masyarakat pragmatis seperti sekarang, polemik sastra atau apa pun yang sifatnya bombas jelas tidak akan dipedulikan, karena masyarakat lebih butuh situasi yang bukan penggombalan jargon, sesuatu yang konkret. Tentu, jika mereka suntuk, dengan sendirinya akan leha-leha menikmati buku-buku kumpulan cerpen, misalnya, dengan risiko setelah membaca akan ditaruh begitu saja di atas almari pakaian, karena tergesa-gesa menikmati acara teve.
Sampai di sini bisa disimpulkan, pasar sastra yang dilematis menuntut adanya siasat untuk lebih memudahkan sosialisasi buku-buku karya sastra, sekaligus membumikan paradigma para sastrawan yang biasanya abstrak, metaforis, “ruwet”, dan begitu asosiatif. Meski begitu, publik awam tetap harus tercerdaskan dengan karya sastra, dengan cara sosialisasi yang pas pada situasi mereka. Kalau masalah diskon, eghm… itu gerundelan lain lagi. ***
*) Majalah Matabaca.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar