Senin, 04 Mei 2009

Chicklit dan Teenlit : Relativitas Kualitatif Paradigma Cerita*

Satmoko Budi Santoso

FENOMENA dunia perbukuan di Indonesia dikejutkan oleh booming kategori cerita chicklit dan teenlit. Setidaknya, dalam sekian tahun terakhir fenomena chicklit dan teenlit itu benar-benar menawarkan kesegaran baru dalam kaitannya dengan varian keberjamakan tema dan standarisasi buku-buku cerita.

Ditilik dari pengertian substansial yang mengarah pada aspek linguistik, chicklit terpahami sebagai sebuah karya sastra yang bersifat populer. Konsekuensinya, cerita-cerita yang diangkat adalah seputaran dinamika hidup orang-orang perkotaan, terkhusus para perempuannya, yang identik dengan cara berpikir modernis, tak ketinggalan dalam hal mode pakaian, rambut, jenis parfum yang disemprotkan, dan ukuran kelas sosial lainnya yang menjurus pada kosmopolitanisme. Sedangkan teenlit lebih dipahami sebagai kemasan cerita yang ditujukan buat kaum remaja, seperti halnya novel-novel remaja yang belakangan ini membanjir di rak-rak toko buku.

Dari segi aspek estetika kesastraan, fenomena chicklit dan teenlit ini lebih mudah diterima masyarakat karena gaya bertuturnya yang ringan, mengangkat cerita hal-hal yang sepele, sangat menghibur, dan biasanya ditulis dengan teknik penceritaan semirip buku harian. Jadi, secara emosional jelas membangkitkan keterlibatan dari para pembacanya, yang membuat para pembaca tersebut seperti enggan berpindah ke buku lain jika belum menamatkan karena cara penyajiannya yang renyah.

Sebelum para penulis cerita dalam negeri menuangkan paradigma ceritanya dalam format chicklit dan teenlit, penerbit seperti Gramedia memang telah membombardir dengan chicklit dan teenlit terjemahan, seperti misalnya pada buku-buku yang berjudul Confession of A Shopaholic, Can You Keep A Secret?, dan Bridget Jones Diary yang juga telah dilayar-lebarkan.

Kini, di rak-rak buku chicklit dan teenlit yang tersebar di toko-toko buku, konsumen buku Indonesia dapat menjumpai buku-buku dengan judul seperti Cintapuccino, Jilbab Spears, Aku vs Sepatu Hak Tinggi, Because I Love You, Beautiful Stranger, Buku Harian yang Terlipat Cadar, God is A Girl, Di Selubung Malam, dan masih banyak lagi. Kesemua buku-buku tersebut pastilah menyumbang terhadap khazanah pengkayaan cerita dari berbagai perspektif. Yang menarik adalah upaya eksperimentatif dan eksploratif seperti yang dilakukan Novia Syahidah, yang menulis novel remaja Di Selubung Malam dengan mempertaruhkan pemahamannya atas referensi dunia antropologi kebudayaan Lombok di Nusa Tenggara Barat.

Paradigma dan Kualitas Cerita

Bagi saya, yang urgen untuk diperbincangkan adalah soal paradigma dan kualitas cerita yang semestinya disangga dalam penerbitan buku-buku chicklit dan teenlit. Memang, dari segi koridor kualifikasi buku, chicklit dan teenlit tetap tak bisa berkelit dari cerita-cerita populis, yang dianggap tak bermuatan apa-apa, lagi pula tak mempertaruhkan apa-apa. Tentu saja, persepsi seperti ini layak ditepis.

Sastrawan Agus Noor yang merasakan nikmatnya buku best seller karena menulis buku Rendezvous: Kisah Cinta yang tak Setia pernah secara tegas berpendapat bahwa sesungguhnya sudah lama batas antara “sastra serius” dan “sastra pop” tak lagi jadi gangguan dalam penciptaan karya sastra. Dengan sendirinya, persepsi fanatik yang mengotak-kotakkan paradigma cerita tertentu sebagai sesuatu hal yang eksklusif perlu dikritisi, perlu dikaji ulang.

Idealnya, dalam format paradigma cerita chicklit dan teenlit memang juga mempertaruhkan kualitas sehingga tak cuma dianggap slapstick atau gimmick. Betapa pun usungan ideologi cerita yang dibawa telanjur dianggap ngepop dan dangkal dari perspektif “sastra serius”, namun jika ada penulis novel remaja yang menggarap paradigma cerita sebagaimana Novia Syahidah menuliskannya dalam Di Selubung Malam tentu saja karya yang dihasilkannya tetaplah tergolong serius jua.

Pertaruhan wacana antropologis dan sosiologis yang berlatar Lombok pastilah memberi masukan brillian terhadap pengembangan rasionalisasi cultural studies yang begitu berharga dalam menyosialisasikan kekayaan warna lokal kebudayaan yang ada di Indonesia. Karenanya, jika para penulis cerita chicklit dan teenlit menggarap tentang kehidupan seorang perempuan kota metropolitan, misalnya, selayaknya jika tetap memperhitungkan kualitas paradigma cerita sehingga tidak hanya kehidupan kosmopolitanismenya yang tereksplorasi melainkan juga substansi pergeseran kebudayaan masyarakatnya, dari agraris ke urban atau tentang shock culture-nya, sebagai contoh konkret. Atau mungkin yang lain lagi.

Inilah tantangan kreatif yang saya kira bakal sangat berarti dan jika dikembangkan akan lebih memperkaya referensi kita tentang berbagai macam sub kultur yang berserak di belahan daerah mana pun. Seperti contoh yang tak kalah menarik adalah sebuah buku Belajar Nakal (Catatan Berantakan dari Kota Setengah Gila) yang ditulis Adhe Ma’ruf. Meskipun kesannya ditulis dengan gaya yang slengekan, namun sebetulnya justru komprehensif dalam memberi gambaran tentang pergeseran kebudayaan yang mengharu-biru kota Yogyakarta.

Data-data valid yang menunjukkan tentang eksistensi Keraton Yogyakarta dan keberadaan sepeda sebagai bagian the inner of soul masyarakat Yogyakarta terhadirkan dalam buku itu sebagai referensi yang mencerdaskan. Belum lagi ketika terdeskripsikan mengenai fenomena bahasa gaul Yogyakarta, bahasa slengekan seperti yang terepresentasi dalam produk kaos Dagadu yang merambah sampai manca negara. Tentulah para pembaca buku Belajar Nakal seperti mendapatkan anugerah pengetahuan yang begitu subtil meskipun dengan cara penyajian sebagaimana yang harus dipatuhi dalam koridor chicklit dan teenlit.

Gegar Identitas

Konon, masa remaja selalu dianggap sebagai masa rawan karena mengemban risiko tentang pencarian identitas. Jika persepsi ini diamini sebagai kebenaran, niscaya dengan tersosialisasikannya kualitas paradigma cerita buku-buku chicklit dan teenlit yang kredibel justru membantu upaya pematangan pencarian identitas.

Jelas, identitas atau pilihan sikap hidup salah satunya ditentukan oleh seberapa jauh kualitas bacaan yang dilahap seseorang. Karenanya, pada basis usia remajalah alternatif pilihan identitas bisa didesakkan, dan mereka tinggal memilih identitas sesuai dengan maksud dan kemantapan hati nurani.

Banyak buku chicklit dan teenlit yang memberikan alternatif pencarian identitas diri, dari yang maunya normatif sampai yang memberontak. Buku-buku yang mengangkat cerita tentang kelompok musik Skin Head atau sekelompok “geng bengal” seperti Simon Sam sepertinya akan layak dituduh sebagai penghasut rasionalisasi pembentukan identitas diri yang tak lagi memperhatikan moralitas. Padahal, tentu saja tak tepat vonis semacam itu. Bagaimanapun, paradigma cerita yang kualitatif juga sangat relatif. Justru keberjamakan paradigma cerita yang ada tinggal dicomot sebagai salah satu pertimbangan pilihan identitas diri atau memang hanya berhenti sebagai referensi pengetahuan semata.

Yang pasti, mesti ada sikap kompromis, positivistik dalam menerima keberjamakan paradigma cerita yang menggelontor dalam buku-buku chicklit dan teenlit kita hari ini. Karena, di sisi lain, adanya buku-buku chicklit dan teenlit malah membuka peluang sebagai rangsangan menulis di kalangan pelajar kita, yang oleh sastrawan Taufiq Ismail pernah dikhawatirkan sebagai generasi yang rabun sastra, karena kurangnya bacaan sastra yang mereka konsumsi.

Terpulang kepada para remaja kita, apakah memang tergerak untuk membaca dan kemudian ikut menulis apa pun hasilnya? Ayo, bangun, tengoklah buku-buku chicklit dan teenlit, ah, mestinya kalian berucap, “Wow, amazing! Gampang sekali aku bikin seperti itu. Aku bisa! Aku bisa!” Sebuah ucapan yang tak harus terteriakkan dengan mengepalkan tangan, karena juga bisa cukup tergumamkan dalam hati. ***

*) Majalah Matabaca

Tidak ada komentar:

Posting Komentar