Senin, 04 Mei 2009

Gairah Komodifikasi Sastra dan Operasi Intertekstualitas*

Satmoko Budi Santoso

KESUSASTRAAN mengandung risiko menjadi trendsetter, populis, sebagaimana barang, bernilai komodifikasi. Asumsi semacam ini bisa diidentifikasi dengan maraknya estetika atau lirisisme bahasa yang dirasionalisasikan komunitas sastra tertentu sehingga memuat anasir keseragaman. Dalam konteks inilah, kekhawatiran perihal kesamaan identitas estetika karya sastra kembali muncul, karena seandainya nama pengarang ditutup, maka cita rasa estetika karya sastra yang dihasilkan nyaris sama.

Celakanya, dalam dunia kesusastraan, teoritisasi perihal intertekstualitas malah seolah-olah “melindungi” kerja “peniruan” atau keterpengaruhan semacam itu, apalagi jika kaum sastra melirik anggapan kritikus seperti Julia Kristeva, yang menyatakan bahwa sastra bernilai proses. Keseragaman, demikian Kristeva berasumsi, masih ada batas toleransinya. Tak ada kemutlakan dalam penilaian estetika karya sastra karena otentisitas bisa saja bernilai tipis. Keterpengaruhan pun jadi bernilai mafhum.

Itulah ironisme karya sastra terkini, karya sastra yang berada dalam “banjir bandang” eksperimentasi bahasa, tema, teknik penceritaan, atau apa pun, namun hanya satu atau dua karya yang benar-benar “bisa dibaca”, karena terbebas dari keterpengaruhan, dari kecenderungan kerja “peniruan”. Sebut saja, misalnya, setelah kelahiran novel Saman karya Ayu Utami, maka deretan karya-karya Nukila Amal, Clara Ng, maupun beberapa yang lain pun bisa disejajarkan aspek “kesamaannya”, terutama masalah cara bertutur atau bercerita. Dilema atas persoalan tersebut, bagaimanakah jalan keluarnya?

Secara serampangan, bolehlah diasumsikan bahwa dalam kurun waktu beberapa tahun terakhir ini pertumbuhan kritik sastra bisa dibilang mengkhawatirkan: hampir tak ada kritik sastra yang bisa membahas dengan komprehensif, dengan telaah yang serius, untuk mengimbangi fluktuasi atau surplus karya sastra. Karenanya, kerja kritikus sastra sangat lazim dipertanyakan, juga digugat. Berkaitan dengan operasi intertekstualitas, apakah masih mungkin dikerjakan oleh para kritikus sastra Indonesia yang cukup lama pasif?

Tampaknya, di luar persoalan isu politik sastra, yang perlu dibereskan terlebih dahulu adalah rasionalisasi estetika karya yang keliru, yang memuat anasir keseragaman tersebut. Karena, bagaimana pun, kesusastraan berhadapan dengan realitas dua kelompok pembaca: pertama, pembaca yang diasumsikan berwawasan sastra, dan kedua pembaca awam yang menikmati kesusastraan dalam substansinya sebagai cerita. Basis penciptaan karya sastra yang berformat reproduksi karya sebelumnya dengan sendirinya akan berisiko dicemooh, tak berumur panjang apalagi ketika berhadapan dengan massa pembaca yang berwawasan sastra.

Karenanya, penumbuhan gairah kritik sastra pun memang bernilai mutlak. Saya termasuk orang yang setuju dengan persepsi penyair Amien Wangsitalaja, penulis buku puisi Kitab Rajam (Indonesia Tera, 2000) dan Perawan Mencuri Tuhan (Pustaka Sufi, 2004) yang memaparkan bahwa kebanyakan kritik sastra di Indonesia terlebih lagi yang ada di koran kerap terjebak sebagai kritik sastra impresif, hanya bernilai kupasan secara permukaan. Bukan kritik sastra yang mampu mengoperasikan berbagai teori secara komprehensif.

Namun, melihat fenomena keterpengaruhan karya sastra yang terus menggejala sampai sekarang, sekalipun bernilai kritik sastra impresif, tampaknya tetap harus dikedepankan. Minimal, sebagai upaya mengondisikan operasi intertekstualitas secara rutin sebagai risiko mengantisipasi “peniruan” dan keterpengaruhan estetika karya yang semakin merajalela.

Dengan sendirinya, kerja kritikus sastra impresif setidaknya bisa mengerem intertekstualitas, karena selanjutnya, diharapkan publik yang luas juga bisa berperan menanggapi secara lebih kritis. Upaya ini akan jauh lebih baik jika dibandingkan dengan tiadanya kritik sastra, baik yang impresif maupun yang komprehensif, karena mahasiswa sastra pun mungkin malu dan tidak percaya diri untuk menulis -- untuk tidak mengatakannya kurang menguasai teori? Padahal, sebetapa pun impresifnya, kritik sastra bisa bernilai stimulan bagi perkembangan estetika karya itu sendiri. Juga bisa menjadi polemik yang berkepanjangan seperti yang pernah melanda pada periode keterpengaruhan atas wacana teks-teks “puisi gelap” ala penyair Afrizal Malna.

Dalam konteks ini pula perlu ditegaskan, wilayah estetika bukanlah wilayah yang sulit dinilai karena dianggap bebas nilai, sebagaimana asumsi beberapa kreator dan kritikus sastra Indonesia sendiri. Wilayah estetika tetap berada dalam koridor yang sah dinilai dan “dihakimi”, jelas bukan wilayah yang terbebaskan dari perangkat operasionalisasi tumpukan teori.

Tentu saja, kerja-kerja kreatif berupa kritik sastra yang serius adalah sebuah langkah antisipasi yang urgen bagi pertumbuhan estetika karya sastra Indonesia di kemudian hari, supaya masa depan kesusastraan Indonesia tidak berada dalam kekhawatiran telikung cita-rasa keseragaman estetika dan identitas karya karena macetnya kerja kritik atau operasi intertekstualitas itu sendiri?

Kita tahu, kesusastraan Indonesia sungguh masih sangat mungkin berkembang lebih baik lagi dan memunyai posisi tawar yang juga lebih baik di mata sastra dunia. Apalagi jika secara internal, di Indonesia, para sastrawannya membiasakan diri dengan kerja disiplin antiketerpengaruhan, niscaya akan semakin meninggikan derajat posisi tawar pencapaian kualitas karya sastranya. Jadi, tak hanya dicibir dengan ungkapan khas para sastrawan bule yang beberapa kali saya temui, “Sepuluh tahun pertumbuhan sastra Indonesia, ternyata hanya lahir satu karya yang betul-betul merupakan karya sastra.”
Wah, wah, wah…. ***

*) dimuat dikoran Media Indonesia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar