Senin, 04 Mei 2009

Perayaan Pluralisme Cerpen Indonesia Kontemporer: Keberagaman Alternatif*

Satmoko Budi Santoso

CERPEN Indonesia telah meruntuhkan “sakralitasnya”, anjlok dari menara gading yang dibangunnya beberapa warsa silam: cerpen hanya bisa dipahami oleh orang-orang yang berada di seputaran kerja kreatif kesusastraan itu sendiri.

Tentu, asumsi ini sangat bisa dibuktikan, karena dalam era kekinian, cerpen Indonesia telah merasionalisasi dirinya sendiri, masuk ke segala segmen, semua kelas sosial. Beragam tema dengan keberjamakan eksplorasi teknik penceritaan dan pencapaian bahasa-bahasa yang metaforis, telah diterima publik, tak hanya lingkungan kaum sastrais, namun juga pasar ABG dan komunitas selebriti. Karena itu, yang perlu dicatat kemudian adalah bagaimana timbal-balik pluralitas publik yang menerima keberlimpahan eksperimentasi cerpen-cerpen Indonesia?

Penyair Binhad Nurrohmat dalam eseinya yang bertajuk Cerita Pendek Indonesia, Gajah di Pelupuk Mata (Harian Kompas, 25 Mei 2003) dengan begitu santun telah mempertanyakan kerja kritikus sastra dalam meresepsi fluktuasi cerpen Indonesia. Dalam amatan Binhad Nurrohmat, tak ada kritik sastra yang substansial, yang komprehensif menelaah cerpen Indonesia, agar tumbuh dalam kehingar-bingaran yang sehat. Kenyataannya memanglah begitu. Ketika dengan segala kerendahan hati cerpen Indonesia turun dari menara gadingnya, ternyata justru diimbangi dengan mampatnya kerja kritikus sastra.

Tentu saja, tulisan ini hanya sekadar memberi catatan pendek, sebagai tambahan pemetaan sosialisasi dan capaian estetik cerpen Indonesia, yang di masa depan, jika kritik sastra benar-benar mandeg, kemungkinan besar akan tumbuh secara mandiri, merayakan keberjamakan dalam telikung minimnya respons progresif di luar dirinya, sekalipun tetap menolak “dipagut dan dipiting” sebagai hasil kerja yang bersifat onanis.
***

SESUNGGUHNYA, dalam konteks pasar buku sastra, cerpen Indonesia tak pernah menafikan peringatan Lucien Goldman, pemikir strukturalisme kesusastraan, perihal hubungan simbiose mutualistik antara kesusastraan dan masyarakat. Kesaling-tergantungan antara kesusastraan dan masyarakat sungguh telah terjembatani, tinggal masyarakat sendiri yang selanjutnya memilih capaian estetik cerpen tertentu, sesuai dengan kebutuhan yang bersifat reflektif, sekadar bacaan kala senggang, atau memang mau dan sudi memahami serta melacak konsepsi estetikanya.

Dalam konteks masyarakat pembaca sastra (awam) yang mencari capaian reflektif, misalnya, sudah ada cerpen-cerpen realis, yang berhasil mengaduk-aduk kompleksitas psikologis tokoh-tokohnya sehingga relevan sebagai cermin hidup kekinian, dalam kerangka modern. Cerpen-cerpen Jujur Prananto dalam antologi Parmin, Harris Effendi Thahar dalam Si Padang, Hamsad Rangkuti dalam Sampah Bulan Desember, Gus tf Sakai dalam Kemilau Cahaya dan Perempuan Buta, Korrie Layun Rampan dalam Acuh tak Acuh maupun Seno Gumira Ajidarma dalam Dunia Sukab, telah mengegaliterkan cerita sehingga dekat dan bernilai the inner of soul interaksi kehidupan sehari-hari. Bermacam ironi maupun sarkasme hidup terejawantahkan dalam substansi cerita yang jika betul-betul diresepsi merupakan wilayah konflik “kita-kita juga”.

Belum lagi jika pembaca sastra mulai berpikir capaian estetik, mencari capaian dalam perhitungan strategi literer teknik penceritaan, maka jangan kaget jika menemui cerpen-cerpen the mind game Puthut EA dalam Dua Tangisan pada Satu Malam, yang begitu impresif, begitu “dingin” cara bertuturnya, menjadikannya sanggup mengemas pandangan-pandangan filsafati untuk merangsek masuk dunia populis, Indra Tranggono dalam Iblis Ngambek dan Iman Budhi Santosa dalam Kalimantang yang memperkaya problem kelas dalam sub kultur warna lokal Jawa, Bre Redana dalam Sarabande yang mempersepsikan sublimitas warna lokal Bali dalam angle tokoh-tokoh yang kosmopolit, Yanusa Nugroho dalam Segulung Cerita Tua yang memperkaya khasanah perspektif mistik, Hudan Hidayat dalam Orang Sakit yang mengedepankan literasi kontemplatif, atau Djenar Maesa Ayu yang merambah dekonstruksi wilayah ketabuan sebagai propaganda perlawanan budaya patriarki lewat Mereka Memanggil Saya Seekor Monyet.

Sementara, cerpen-cerpen yang mungkin dibuat sebagai bacaan kala senggang, tak berambisi mendesakkan capaian reflektif, estetik apalagi ideologis, kecuali justru bernilai potretan sekilas peristiwa, yang sangat personal dan temporal, berkehendak hanya bercerita, tak ada desakan pemahaman antropologis dan lebih pada tawaran nilai abstraksi dunia populis sehingga terendus dalam lipatan saku celana pangsa ABG dan kaum selebritis, dapat dibaca Sebuah Pertanyaan untuk Cinta dan Sepotong Senja untuk Pacarku karya Seno Gumira Ajidarma serta Sepuluh Kisah Cinta yang Mencurigakan yang merupakan antologi komunal karya cerpenis-cerpenis muda terbitan Akademi Kebudayaan Yogyakarta.

Tentu saja, pemetaan estetika semacam ini menjadi varian cukup penting, karena tak bisa ditolak, sebagai risiko posmodernisme yang menyumpah-serapahi keserba-tunggalan dan memangku keberjamakan, cerpen Indonesia telah sanggup merayakan eksistensinya, menembus lini tanpa batas, tak perlu juru bicara, dan telah melakukan bargaining terhadap publiknya sendiri. Karenanya, yang perlu diingat, tak ada anasir the invisible hand dalam kemeriahan pasar buku sastra, karena sekalipun tak ada kritikus yang menjembatani karya sastra, cerpen Indonesia sudah berjalan sendiri, “mencuci otak” pembacanya. Pastilah, hal semacam ini jauh lebih berharga dibandingkan dengan kemeriahan sosialisasi cerpen Indonesia beberapa warsa silam, yang penuh konsep, jargon dan juru bicara. Kini, berbagai konsep, jargon, dan petuah juru bicara telah hablur dalam cerita, pembaca-pembaca anonim yang bukan bervarian the invisible hand justru membutuhkan dan menikmatinya, sedikit-banyak tentulah merasakan jaminan atas ruang kenyamanan katarsis, secara apa pun. Bisa jadi, dalam banyak hal, ada kedirian pembaca yang merasuk dalam cerita sehingga substansi cerita menjadi ditunggu-tunggu.
***

BOLEH jadi, saya telah menggeneralisasi secara serampangan terhadap capaian estetik cerpen Indonesia sehingga kalau Binhad Nurrohmat masih menanti dengan setia datangnya “ratu adil” kritikus cerpen Indonesia dan berharap dari lembaga-lembaga sastra yang berkompeten, kiranya, untuk saya, sekalian saja dipastikan bahwa tak ada kritikus cerpen yang akan lahir lagi. Kritikus dengan tuntutan kriteria kesanggupan mengoperasikan berbagai teori sastra untuk mendudukkan sebuah cerpen menjadi mafhum dikaji dari berbagai perspektif, tak usah ditunggu. Karena, kita tahu, tak ada acuan kritik cerpen yang ideal dalam khasanah kesusastraan Indonesia, selain kritik impresif dan bernilai permukaan, lebih banyak mengupas sinopsis dan sekadar konflik psikologisnya, seperti yang terjumpai dalam banyak kritik kata pengantar, kata penutup, maupun yang berkembang sebagai esei sastra di koran-koran. Rupa-rupanya, faktor keterbatasan ruang selalu menjadi alasan utama, justru untuk memberhentikan kerja kritik, yang siapa pun menyadarinya akan sangat fungsional bagi pengembangan kerja estetik para cerpenis di kemudian hari. Setidaknya, tumbuh sentakan ingatan yang bisa dibangun atas kerja kritikus, yang membuat cerpenis tertantang mencari inovasi baru, yang lebih membuka peluang pencapaian otentisitas.

Begitulah. Kini, disadari atau tidak, para pembaca sastra berada dalam ambang batas kesemrawutan cerpen, yang langsung berbicara dengan pembacanya, tak perlu diantar-antar. Dalam banyak hal, situasi semacam ini bukankah malah menguntungkan, karena terhindar dari muatan klaim jika memang masih ada kritikus? Bukankah kerap kita baca, kritik cerpen malah bernilai ambisi legitimatif sehingga menambah keruh politisasi sastra yang di Indonesia pun sudah semakin julik permainannya?

Sampai di sini, saya teringat pada tulisan Richard Oh dalam majalah Matabaca Edisi Mei 2003 dengan judul yang provokatif Melawan Kutukan 3.000 Eksemplar Buku namun substansi yang dibicarakan sangatlah rasional. Dalam era terkini, demikian Richard Oh berasumsi, situasi sosiologis tempat hidup masyarakat sangat merindukan keberagaman cerita sebagai risiko menetralisir kesumpekan. Konsekuensinya, penerbit buku harus pandai-pandai membidik pasar agar buku-buku sastra yang diterbitkan sesuai dengan situasi psikologis publik yang membutuhkannya.

Secara sederhana dapatlah dipahami: pembaca buku Indonesia membutuhkan alternatif bacaan yang segar, namun juga mencerdaskan. Dalam konteks inilah peluang sosialisasi sastra menjadi besar, untuk meruntuhkan hegemoni menara gading, “sakralitasnya” tersebut. Tak bisa dipungkiri, pembaca buku Indonesia yang suntuk dan sumpek dengan buku-buku politik karena tak pernah sinkron antara teori dan kenyataan, dengan contoh anarkisme politik di Indonesia, misalnya, pasti akan lari ke buku lain yang lebih bersifat “membebaskan”, “mencerahkan”, tidak membikin beban berupa kerutan kening. Begitu pula dengan para pembaca buku-buku ilmu sosial.

Karenanya, di sinilah letak sinergi paling logis antara para cerpenis dan penerbit buku, lewat tangan redaktur sastra media massa, yang “seeksperimentatif” apa pun dalam mengakomodir cerpen, tetaplah mempunyai standar estetika. Bolehlah disepakati, sebagai salah satu penentu masa depan “peradaban estetik” cerpen Indonesia, tangan redakturlah yang kini mengemban tanggung jawab cukup besar, karena kritikus telah mati. Dengan sendirinya, karena pengarang akan selalu hidup, dan konteks zaman yang kini menerimanya bisa dikatakan sudah lama mengharap, maka perlu diperbanyak cerita-cerita yang memperhitungkan segala aspek, terutama yang bermuatan historisisme, karena kalangan masyarakat pun membutuhkannya sebagai alternatif “kebenaran”, yang sulit dijumpai dalam teks-teks lain di luar karya sastra. Perlu diingat kembali, dalam konteks ini, antologi cerpen Saksi Mata karya Seno Gumira Ajidarma sangatlah menyumbang, di samping buku lain seperti Sandiwara Hang Tuah karya Taufik Ikram Jamil.

Dalam kaitan semua hal itu pula, risiko keberjamakan yang sepantasnya dirayakan, tak perlu melahirkan hero baru. Sebagaimana analogi dalam dunia industri, siapa pun sah menulis cerpen, karena yang baru trend dan laku adalah fiksi, adalah cerpen. Sebagaimana dalam lingkungan petani, maka menjadi lumrah jika siapa pun yang sanggup menanam dan memelihara lombok, ya, tanamlah dan peliharalah lombok tersebut. Eghm, kini, momentum cerpen Indonesia untuk unjuk gigi, mengkarnavalkan dirinya sudah tiba, karena tuntutan situasi. Di luar tetek-bengek persoalan itu, sebagai konsekuensi seleksi alam kita tinggal menunggu waktu, apakah cerpen-cerpen Indonesia akan menjadi pualam, melabu, ataukah malah bertalu, meraih zaman keemasannya.

Hiduplah para cerpenis dalam keberjamakan eksperimentasi karnaval estetika! ***

*) pernah dimuat di kompas

Pantun-pantun Gempa, Pantun-pantun Melawan Trauma*

Satmoko Budi Santoso

jalan-jalan pergi ke kalimantan
dapat uang satu juta
mbak ambar memakai intan
mas gopel jatuh cinta

lebih baik minum jamu
daripada minum fanta
lebih baik mencari ilmu
daripada mencari cinta

aku suka film baja hitam
daripada film superboy
aku suka pacar pendiam
daripada pacar playboy

TIGA pantun di atas ditulis secara spontan oleh sebagian anak-anak korban gempa yang berdomisili di sebuah kampung di Kecamatan Pundong Kabupaten Bantul Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Tentu saja, dalam kesempatan kali ini saya tak akan membicarakan soal kualitas estetik isi pantun yang ketiganya ditulis masing-masing di atas selembar kertas lusuh yang saya bagikan itu. Misalnya saja, dengan membuka kemungkinan adanya pertanyaan apakah teks-teks pantun yang mereka hasilkan memang “bermuatan sastra” dan relevan sebagai upaya penggambaran/deskripsi situasi gempa?

Yang pasti, saya hanya ingin membagi pengalaman soal kemungkinan metode alternatif sebagai sebuah konsekuensi atas terapi psikis. Bisa jadi, pendekatan-pendekatan terapi secara tekstual dan dimulai dengan frame pemahaman “parodi” justru lebih membuka kemungkinan menggiring anak-anak korban gempa ke dalam pengembalian alam kesadaran dunia mereka, yang tak jauh dari kebahagiaan kolektif untuk bermain-main.

Melalui aspek kebermain-mainan itulah upaya melawan trauma atas penderitaan yang mereka jalani boleh jadi menemukan katup konkretnya. Ini tentu saja sebuah perjuangan pengenalan metode alternatif yang barangkali sangat berat, karena “mencetak penderita amnesia mendadak” karena tuntutan situasi yang maunya “melupakan sejarah kelam” bisa-bisa malah bernilai spekulatif. Misalnya saja, kemungkinan adanya anggapan bahwa metode terapi semacam ini malah terkesan tak alami, terasa dipaksakan karena dimulai dengan frame tertentu, dan sebagainya, dan sebagainya.

Tetapi, menurut saya, alternatif “metode parodi” sebagai terapi psikis yang kebetulan aplikasinya berbentuk penciptaan pantun semacam ini sungguh membuka ruang-ruang dialektika masa lalu dan masa depan yang benar-benar bisa dipisahkan, dan menjadi semacam jembatan antara yang tepat. Pengedepanan “metode parodi” itu sendiri bisa sebagai bukti ilmiah bahwa mengarungi “jalan penderitaan tersebab gempa” setidaknya dapat disikapi atau dinetralisasi dengan cara mengulum senyum.

Boleh jadi, asumsi saya ini dapat dibilang amat dangkal, karena mungkin saja terasa abstrak dan menyimpang dari pendekatan idealisasi ilmu psikologi atau apa pun. Katakanlah jika kemudian membenturkannya dengan anjuran teori psikoanalisa ala Sigmund Freud. Apakah penciptaan teks-teks pantun yang dihasilkan sejumlah anak-anak korban gempa itu mewakili “lubuk jiwa terdalam” ataukah memang hanya iseng belaka? Bisakah digolongkan ke dalam sangkar idealisasi yang dalam pendekatan ala Sigmund Freud bisa dikategorikan menjadi id, ego, atau super ego? Sangkar manakah yang paling tepat?

Baiklah, sebagai perbandingan, berikut ini saya kutipkan lagi pantun-pantun sebagian anak korban gempa di wilayah yang sama, hanya saja waktu pembikinan dan orangnya berbeda.

bengi-bengi neng jaratan (malam-malam di kuburan)
weruh tuyul wedi banget (lihat tuyul takut sekali)
mbak santi nganggo intan (mbak santi memakai intan)
gopel weruh getun banget (gopel melihat kecewa sekali)

mlaku-mlaku neng kuburan (jalan-jalan di kuburan)
weruh duwet sewu (lihat uang seribu)
bengi-bengi weruh setan (malam-malam lihat setan)
ora mlayu malah ngguya-ngguyu (tak lari malah ketawa)

Kedua pantun yang ditulis dengan bahasa Jawa di atas saya “instruksikan” tanpa melalui prolog atau frame yang mengarah pada “parodi”. Saya hanya bilang, “Tulislah sebuah pantun. Terserah.” Dan jelas, masing-masing anak yang menulis kedua pantun tersebut juga tak saling menyontek. Hanya saja, kenapa hasilnya bisa “sama” dengan pantun-pantun yang ditulis dengan “instruksi” atau prolog tertentu? Lebih jelasnya lagi, kenapa frame “parodi” diam-diam merasuk ke dalam alam kesadaran sebagian anak-anak korban gempa? Apakah diam-diam juga, mereka telah mampu menyikapi “penderitaan tersebab gempa” dan tak perlu lagi ada perumusan lebih lanjut?

Saya tidak tahu. Yang pasti, segepok perbandingan di atas bisa menjelaskan satu hal. Bahwa cara menyikapi bencana bagi sebagian anak-anak korban gempa di wilayah Yogyakarta tak separah yang dibayangkan ketika gempa dan tsunami menerjang Aceh beberapa waktu silam: terlalu banyak anak yang ketika disuruh menulis pantun malah hanya mencoret-coret atau mencabik-cabik kertas. Dan ketika disuruh menggambar malah hasilnya sebuah deskripsi laut yang berwarna hitam, bukan biru, padahal mereka tahu bahwa laut itu berwarna biru.

Fakta-fakta ini semoga saja mengajarkan kepada kita bahwa adanya gempa di wilayah Yogyakarta dan Jawa Tengah “tak terlalu susah” untuk ditanggulangi. Setidaknya, secara psikis, ada kemungkinan bahwa dalam konteks korban gempa anak-anak, upaya pemulihan kesadaran atas kebahagiaan kolektif mereka tak terlalu berat. Karena itu, ini tinggal ditindak-lanjuti oleh berbagai pihak yang berwenang, bagaimana dengan upaya-upaya recovery di luar persoalan psikis. Misalnya saja, bagaimana dengan upaya pemulihan dalam hal bantuan tempat tinggal, sekolah, dan fasilitas publik lainnya?

Sungguh, jika dari sebuah pantun yang memang terkonsepkan agar “main-main” sebuah gejolak psikis bisa disidik, maka mungkin saja kita bisa bersyukur bahwa sebagian anak-anak korban gempa di Yogyakarta telah sedikit bebas dari belenggu ketertekanan. Tanpa kerepotan mengenal rumusan soal pemahaman teori psikoanalisa ala Sigmund Freud secara subtil mereka perlahan-lahan telah dapat memasuki gerbang untuk menepis penderitaan. Dan dengan sendirinya, medium karya sastra berupa pantun ternyata bisa sebagai alternatif jalan/metode untuk menguak kemungkinan menggeloranya persoalan jiwa.

Dengan kata lain, pantun yang merupakan bagian cukup penting dalam siklus karya sastra tersebut, ternyata (diam-diam!) adalah juga medium penanda psikis. ***

*) dicumput dari Minggu Pagi

Chicklit dan Teenlit : Relativitas Kualitatif Paradigma Cerita*

Satmoko Budi Santoso

FENOMENA dunia perbukuan di Indonesia dikejutkan oleh booming kategori cerita chicklit dan teenlit. Setidaknya, dalam sekian tahun terakhir fenomena chicklit dan teenlit itu benar-benar menawarkan kesegaran baru dalam kaitannya dengan varian keberjamakan tema dan standarisasi buku-buku cerita.

Ditilik dari pengertian substansial yang mengarah pada aspek linguistik, chicklit terpahami sebagai sebuah karya sastra yang bersifat populer. Konsekuensinya, cerita-cerita yang diangkat adalah seputaran dinamika hidup orang-orang perkotaan, terkhusus para perempuannya, yang identik dengan cara berpikir modernis, tak ketinggalan dalam hal mode pakaian, rambut, jenis parfum yang disemprotkan, dan ukuran kelas sosial lainnya yang menjurus pada kosmopolitanisme. Sedangkan teenlit lebih dipahami sebagai kemasan cerita yang ditujukan buat kaum remaja, seperti halnya novel-novel remaja yang belakangan ini membanjir di rak-rak toko buku.

Dari segi aspek estetika kesastraan, fenomena chicklit dan teenlit ini lebih mudah diterima masyarakat karena gaya bertuturnya yang ringan, mengangkat cerita hal-hal yang sepele, sangat menghibur, dan biasanya ditulis dengan teknik penceritaan semirip buku harian. Jadi, secara emosional jelas membangkitkan keterlibatan dari para pembacanya, yang membuat para pembaca tersebut seperti enggan berpindah ke buku lain jika belum menamatkan karena cara penyajiannya yang renyah.

Sebelum para penulis cerita dalam negeri menuangkan paradigma ceritanya dalam format chicklit dan teenlit, penerbit seperti Gramedia memang telah membombardir dengan chicklit dan teenlit terjemahan, seperti misalnya pada buku-buku yang berjudul Confession of A Shopaholic, Can You Keep A Secret?, dan Bridget Jones Diary yang juga telah dilayar-lebarkan.

Kini, di rak-rak buku chicklit dan teenlit yang tersebar di toko-toko buku, konsumen buku Indonesia dapat menjumpai buku-buku dengan judul seperti Cintapuccino, Jilbab Spears, Aku vs Sepatu Hak Tinggi, Because I Love You, Beautiful Stranger, Buku Harian yang Terlipat Cadar, God is A Girl, Di Selubung Malam, dan masih banyak lagi. Kesemua buku-buku tersebut pastilah menyumbang terhadap khazanah pengkayaan cerita dari berbagai perspektif. Yang menarik adalah upaya eksperimentatif dan eksploratif seperti yang dilakukan Novia Syahidah, yang menulis novel remaja Di Selubung Malam dengan mempertaruhkan pemahamannya atas referensi dunia antropologi kebudayaan Lombok di Nusa Tenggara Barat.

Paradigma dan Kualitas Cerita

Bagi saya, yang urgen untuk diperbincangkan adalah soal paradigma dan kualitas cerita yang semestinya disangga dalam penerbitan buku-buku chicklit dan teenlit. Memang, dari segi koridor kualifikasi buku, chicklit dan teenlit tetap tak bisa berkelit dari cerita-cerita populis, yang dianggap tak bermuatan apa-apa, lagi pula tak mempertaruhkan apa-apa. Tentu saja, persepsi seperti ini layak ditepis.

Sastrawan Agus Noor yang merasakan nikmatnya buku best seller karena menulis buku Rendezvous: Kisah Cinta yang tak Setia pernah secara tegas berpendapat bahwa sesungguhnya sudah lama batas antara “sastra serius” dan “sastra pop” tak lagi jadi gangguan dalam penciptaan karya sastra. Dengan sendirinya, persepsi fanatik yang mengotak-kotakkan paradigma cerita tertentu sebagai sesuatu hal yang eksklusif perlu dikritisi, perlu dikaji ulang.

Idealnya, dalam format paradigma cerita chicklit dan teenlit memang juga mempertaruhkan kualitas sehingga tak cuma dianggap slapstick atau gimmick. Betapa pun usungan ideologi cerita yang dibawa telanjur dianggap ngepop dan dangkal dari perspektif “sastra serius”, namun jika ada penulis novel remaja yang menggarap paradigma cerita sebagaimana Novia Syahidah menuliskannya dalam Di Selubung Malam tentu saja karya yang dihasilkannya tetaplah tergolong serius jua.

Pertaruhan wacana antropologis dan sosiologis yang berlatar Lombok pastilah memberi masukan brillian terhadap pengembangan rasionalisasi cultural studies yang begitu berharga dalam menyosialisasikan kekayaan warna lokal kebudayaan yang ada di Indonesia. Karenanya, jika para penulis cerita chicklit dan teenlit menggarap tentang kehidupan seorang perempuan kota metropolitan, misalnya, selayaknya jika tetap memperhitungkan kualitas paradigma cerita sehingga tidak hanya kehidupan kosmopolitanismenya yang tereksplorasi melainkan juga substansi pergeseran kebudayaan masyarakatnya, dari agraris ke urban atau tentang shock culture-nya, sebagai contoh konkret. Atau mungkin yang lain lagi.

Inilah tantangan kreatif yang saya kira bakal sangat berarti dan jika dikembangkan akan lebih memperkaya referensi kita tentang berbagai macam sub kultur yang berserak di belahan daerah mana pun. Seperti contoh yang tak kalah menarik adalah sebuah buku Belajar Nakal (Catatan Berantakan dari Kota Setengah Gila) yang ditulis Adhe Ma’ruf. Meskipun kesannya ditulis dengan gaya yang slengekan, namun sebetulnya justru komprehensif dalam memberi gambaran tentang pergeseran kebudayaan yang mengharu-biru kota Yogyakarta.

Data-data valid yang menunjukkan tentang eksistensi Keraton Yogyakarta dan keberadaan sepeda sebagai bagian the inner of soul masyarakat Yogyakarta terhadirkan dalam buku itu sebagai referensi yang mencerdaskan. Belum lagi ketika terdeskripsikan mengenai fenomena bahasa gaul Yogyakarta, bahasa slengekan seperti yang terepresentasi dalam produk kaos Dagadu yang merambah sampai manca negara. Tentulah para pembaca buku Belajar Nakal seperti mendapatkan anugerah pengetahuan yang begitu subtil meskipun dengan cara penyajian sebagaimana yang harus dipatuhi dalam koridor chicklit dan teenlit.

Gegar Identitas

Konon, masa remaja selalu dianggap sebagai masa rawan karena mengemban risiko tentang pencarian identitas. Jika persepsi ini diamini sebagai kebenaran, niscaya dengan tersosialisasikannya kualitas paradigma cerita buku-buku chicklit dan teenlit yang kredibel justru membantu upaya pematangan pencarian identitas.

Jelas, identitas atau pilihan sikap hidup salah satunya ditentukan oleh seberapa jauh kualitas bacaan yang dilahap seseorang. Karenanya, pada basis usia remajalah alternatif pilihan identitas bisa didesakkan, dan mereka tinggal memilih identitas sesuai dengan maksud dan kemantapan hati nurani.

Banyak buku chicklit dan teenlit yang memberikan alternatif pencarian identitas diri, dari yang maunya normatif sampai yang memberontak. Buku-buku yang mengangkat cerita tentang kelompok musik Skin Head atau sekelompok “geng bengal” seperti Simon Sam sepertinya akan layak dituduh sebagai penghasut rasionalisasi pembentukan identitas diri yang tak lagi memperhatikan moralitas. Padahal, tentu saja tak tepat vonis semacam itu. Bagaimanapun, paradigma cerita yang kualitatif juga sangat relatif. Justru keberjamakan paradigma cerita yang ada tinggal dicomot sebagai salah satu pertimbangan pilihan identitas diri atau memang hanya berhenti sebagai referensi pengetahuan semata.

Yang pasti, mesti ada sikap kompromis, positivistik dalam menerima keberjamakan paradigma cerita yang menggelontor dalam buku-buku chicklit dan teenlit kita hari ini. Karena, di sisi lain, adanya buku-buku chicklit dan teenlit malah membuka peluang sebagai rangsangan menulis di kalangan pelajar kita, yang oleh sastrawan Taufiq Ismail pernah dikhawatirkan sebagai generasi yang rabun sastra, karena kurangnya bacaan sastra yang mereka konsumsi.

Terpulang kepada para remaja kita, apakah memang tergerak untuk membaca dan kemudian ikut menulis apa pun hasilnya? Ayo, bangun, tengoklah buku-buku chicklit dan teenlit, ah, mestinya kalian berucap, “Wow, amazing! Gampang sekali aku bikin seperti itu. Aku bisa! Aku bisa!” Sebuah ucapan yang tak harus terteriakkan dengan mengepalkan tangan, karena juga bisa cukup tergumamkan dalam hati. ***

*) Majalah Matabaca

Tangan Gaib Pembeli Buku Sastra*

Satmoko Budi Santoso

JAUH-jauh dari Perancis, pakar strukturalisme bahasa seperti Lucien Goldman sudah memperingatkan perihal pentingnya hubungan sastra dan masyarakat sebagai hubungan simbiose mutualisma: karya sastra merupakan abstraksi persoalan masyarakat, dan masyarakat membutuhkannya karena bernilai reflektif, juga mengemban perspektif solusi.

Dalam konteks paling riil, hubungan sastra dan masyarakat terjembatani karena ada media (koran atau buku) yang secara diam-diam mengatur siklus rasionalisasi. Nah, di Indonesia, diakui atau tidak, pasar buku sastra merupakan pasar yang selalu dilematis. Misalnya saja, dicetak berapa pun, buku karya sastra selalu terkena ancaman jeblok di pasaran. Cetak buku sastra yang rata-rata hanya 1000-an eksemplar, paling-paling akan terjual habis dalam jangka waktu lebih dari satu tahun. Memang, ada terobosan menarik seperti yang dilakukan Penerbit Buku Kompas yang berani meluncurkan buku karya sastra dengan cetak pertama 3000 eksemplar.

Masalah rasionalisasi buku sastra yang jeblok di negeri sendiri ini memang merupakan persoalan klasik, namun tak akan pernah up to date untuk diperbincangkan karena tak mungkin tercerabut dari pertumbuhan masyarakat itu sendiri. Seberapa pun kacangannya karya sastra, tetap ada pembaca yang mencari, sekalipun hanya sebagai selingan kesuntukan, bukan serius mau menelaah. Usaha mengurai persoalan pasar yang dilematis inilah yang saya kira cukup urgen diperhatikan, karena tentu ada indikasi penyebabnya.

Pertama, buku-buku karya sastra selalu bernilai mengasingkan “diri mereka sendiri”, tidak marketable. Dari judulnya saja, kerap buku sastra sudah memuat idealisme berlebih, judul-judul metaforis, yang menjemukan publik awam. Kedua, ketidakjelasan visi estetika kebahasaan sehingga membuat pembaca langsung memvonis sebagai karya yang menjenuhkan.

Pada point persoalan pertama, setidaknya bisa diambil solusi untuk menerbitkan buku-buku karya sastra yang diniatkan sebagai jalan menjembatani antara publik sastra dan publik awam. Dalam konteks ini perlu ditegaskan bahwa publik sastra biasanya cukup mengenal nama penulisnya saja sudah bisa membayangkan pencapaian estetik karya sastra yang ada di pasaran. Karenanya, yang terpenting adalah mensiasati judul dan kemasan, sehingga publik awam pun merasa terlibat untuk membaca dan memiliki. Toh urgensi dan “ruh” karya sastranya tak musnah begitu saja.

Secara riil, bisa ditengok kasus buku-buku Agus Noor maupun Seno Gumira Ajidarma yang sangat tahu selera pasar, terjual laris manis tanjung kimpul bak kacang godog. Misalnya saja, ketika menerbitkan buku Memorabilia (Yayasan untuk Indonesia, 1999) dan Bapak Presiden yang Terhormat (Pustaka Pelajar, 2000) Agus Noor membayangkan publik sastra seriuslah yang akan mengoleksi bukunya. Namun, ketika menerbitkan Selingkuh itu Indah (Galang Press, 2003) Agus Noor sadar akan publik yang “cair”, di luar kaum sastrais.

Begitu pula dengan Seno Gumira Ajidarma, melakukan kompromi pasar yang akan mengoleksi buku-bukunya, lewat judul-judul seperti Negeri Kabut, Sebuah Pertanyaan untuk Cinta, Sepotong Senja untuk Pacarku, maupun Kematian Donny Osmond. Sekadar informasi tambahan, buku Selingkuh itu Indah maupun Sebuah Pertanyaan untuk Cinta malah sempat mejeng di sebuah acara sinetron serial teve untuk sebuah adegan pernyataan cinta.
***

KESADARAN rasionalisasi pada publik yang pas inilah saya kira varian eksistensi sastra yang tak bisa dikesampingkan, agar tidak selamanya menghuni asumsi sebagai “menara gading”.

Pada point persoalan kedua, yakni perihal identitas visi estetik kebahasaan juga perlu dikritisi, karena hal ini akan menyangkut selera publik yang biasanya “kejam”: kalau berbau keterpengaruhan -- meskipun hanya teknik bercerita atau gaya bahasa -- maka dengan sendirinya publik sastra maupun publik awam akan lari tunggang-langgang, tak jadi mengoleksi buku yang dimaksud. Untuk persoalan ini pula, jika eksistensi kritikus sastra Indonesia tidak bisa diharap karena lama tertidur pulas, sebaiknya ditumbuhkan kesadaran akan pentingnya operasi intertekstualitas, salah satu jalan yang paling mungkin adalah lewat tangan redaktur maupun editor buku yang sudi menggelembungkan isu polemik atas dasar telaah teori atau pisau analisis tertentu. Ingat, misalnya, dalam peta kesusastraan Indonesia bukankah pernah terguncang karena polemik teks-teks “puisi gelap” Afrizalian? Banyak corak puisi yang lahir menjadi sejenis dan seragam dengan karya Afrizal Malna?

Tentu saja, di masa depan, publik yang mencari buku sastra akan semakin beragam. Antologi puisi Dorothea Rosa Herliany yang bertajuk Kill The Radio (Indonesia Tera, 2001) menurut saya mengalami “bunuh diri” pasar secara perlahan-lahan karena sedikit bernilai tidak marketable. Kenapa tidak diberi judul Surat Cinta, misalnya, yang di dalam buku tersebut puisi Surat Cinta juga sangat menarik dan lebih bisa diterima publik yang beragam? Selain publik sastra yang akan meresponsnya, tentu juga bisa sebagai kado pernikahan, kado ungkapan hari valentine, dan sebagainya.

Inilah paradoks, dilema, yang konkret dihadapi dalam kaitannya dengan surplus buku-buku sastra. Bagi saya, jika tidak berhati-hati, justru dalam era euforia “pesta penerbitan buku” kita akan “bunuh diri” dalam versi yang lain, seolah-olah sudah menerbitkan buku dan dibaca ribuan orang, namun entah siapa yang sesungguhnya peduli. Kalaupun laku, apakah ada anasir the invisible hand (tangan gaib) dalam jual beli buku sastra?
***

DALAM situasi masyarakat pragmatis seperti sekarang, polemik sastra atau apa pun yang sifatnya bombas jelas tidak akan dipedulikan, karena masyarakat lebih butuh situasi yang bukan penggombalan jargon, sesuatu yang konkret. Tentu, jika mereka suntuk, dengan sendirinya akan leha-leha menikmati buku-buku kumpulan cerpen, misalnya, dengan risiko setelah membaca akan ditaruh begitu saja di atas almari pakaian, karena tergesa-gesa menikmati acara teve.

Sampai di sini bisa disimpulkan, pasar sastra yang dilematis menuntut adanya siasat untuk lebih memudahkan sosialisasi buku-buku karya sastra, sekaligus membumikan paradigma para sastrawan yang biasanya abstrak, metaforis, “ruwet”, dan begitu asosiatif. Meski begitu, publik awam tetap harus tercerdaskan dengan karya sastra, dengan cara sosialisasi yang pas pada situasi mereka. Kalau masalah diskon, eghm… itu gerundelan lain lagi. ***

*) Majalah Matabaca.

Sastra dalam Basis Orientasi dan Komitmen Estetika Lokal*

Satmoko Budi Santoso

WACANA desentralisasi komunitas sastra kembali menggemuruh pada awal tahun ini. Marwanto, Ketua Komunitas Lumbung Aksara Kulonprogo Yogyakarta membebernya dalam esei yang berjudul Temu Sastra Tiga Kota (Harian Kedaulatan Rakyat, 13 Januari 2008) lalu. Sayang, cuatan pikiran Marwanto hanya sebatas paparan pemetaan sastrawan yang ada di tiga kota, yakni Yogya, Kulonprogo, dan Purworejo. Selebihnya, hanya menyinggung sedikit tentang kemungkinan potensi yang bisa dikembangkan dari kegairahan bersastra yang ada di kota-kota tersebut.

Dalam khazanah dinamika sastra Indonesia, wacana desentralisasi sudah terlalu sering muncul. Sekadar kilas-balik, yang fenomenal adalah perbincangan mengenai revitalisasi sastra pedalaman yang berhasil menembus pasar isu nasional pada era pertengahan 1990-an. Karena polemik yang berkembang pada masa itu, sejumlah sastrawan dan karya-karyanya yang bernilai “lokal” menjadi terdongkrak dan ikut mendominasi sirkulasi khazanah sastra nasional.

Dalam konteks ini, saya hanya ingin urun rembug, bagaimana seandainya dalam poros sastra tiga kota yang dibentuk Marwanto mempertimbangkan kemungkinan kematangan komitmen untuk lebih menggali kekayaan khazanah estetika lokal, terutama yang bercorak Kulonprogo atau Purworejo. Terus terang, sampai saat ini, saya belum melihat adanya upaya penggalian estetika warna lokal khas Kulonprogo atau Purworejo dalam karya sejumlah pengarang yang nota bene lahir dan tetap berdomisili di Kulonprogo atau Purworejo.

Sedikit perbandingan orientasi gerakan, sudah sejak lama ada Komunitas Penulis Sastra Kudus. Tapi, apakah karya yang dihasilkan ada komitmen khas eksplorasi warna lokal Kudus? Bukankah karya yang dihasilkan sama seperti halnya karya sastra “umum” lainnya? Bukankah kata Kudus hanya sebagai rujukan geografis tempat si penulis tinggal? Saya memang mengidealisasikan, wacana desentralisasi sastra yang kapan pun selalu aktual dicuatkan kembali tersebut diiringi dengan komitmen kuat untuk memperkaya karya khas warna lokal setempat. Hal ini, tentu saja, karena juga merupakan bagian dari peran yang bisa disumbangkan karya sastra dalam memotret zeit geist (jiwa zaman) pada kurun waktu tertentu. Sebagaimana serat-serat Jawa yang ditulis pada masa-masa tertentu, akan menjadi tengokan literatur yang sangat berharga bagi pembaca atau peneliti ratusan tahun setelah serat itu ditulis. Dengan kata lain, ada dokumen otentik perihal situasi sosiologis dan antropologis tertentu karena karya sastra mengabadikannya.

Di ranah provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta sendiri, saya melihat hanya Kabupaten Bantul yang pernah membikin gebrakan dengan Lomba Fiksi Sosial warna lokal Bantul berskala nasional pada 2005 lalu dan akhirnya mempopulerkan novel Menuju Bantul karya Sunardian Wirodono yang betul-betul sahih memotret situasi sosiologis dan antropologis Kabupaten Bantul, baik dari sisi kesejarahan atau apa pun. Bayangkan saja, pada setiap bab dalam novel yang sudah diterbitkan Penerbit Sultan Agung itu berisi nama-nama kecamatan yang ada di Bantul. Bagaimana jika spirit penciptaan karya berbasis kekuatan warna lokal ini diikuti oleh Kabupaten Sleman, Gunung Kidul, dan Kulonprogo, misalnya? Bukankah akan semakin kaya dokumentasi sosiologis dan antropologis warna lokal setempat dalam bentuk literatur karya sastra?
***

DESENTRALISASI gerakan kesusastraan yang ada di Indonesia, secara umum, selain kurang matang pada aspek orientasi dan komitmen pada estetika lokalnya, adalah pada basis apresiator. Soal kemungkinan keberjamakan apresiator ini, menurut saya bisa dibangun dengan adanya komunitas pembaca sastra yang ada di sekolah-sekolah setempat. Mungkin saja sosialisasi programnya bisa bekerja sama dengan perpustakaan daerah setempat atau langsung menembus ke sekolah-sekolah. Bayangkan, jika dari tingkat SD, SMP, sampai SMU dibentuk komunitas pembaca sastra di sekolah-sekolah, bukankah sosialisasi karya sastra warna lokal setempat juga mendapatkan komunitas pembaca yang signifikan? Tidak hanya berhenti sampai di sini, komunitas pembaca sastra ini juga bisa diarahkan menjadi segmen yang permanen dalam upaya distribusi karya sastra bercorak warna lokal menjadi lebih luas lagi. Saya percaya, gerakan yang kuat di daerah-daerah, sebetulnya juga akan “mengganggu” kemapanan “pusat-pusat sastra”, katakanlah dominasi dan hegemoni Jakarta. Buktinya, puisi-puisi khas warna lokal Bali mendapatkan tempat tersendiri dalam hitungan kualitatif dan malah dicari serta dijadikan rujukan oleh “pusat-pusat sastra” misalnya saja yang ada di Jakarta atau kota legitimasi eksistensi dan kualitas karya sastra lainnya.

Dengan kata lain, “gerakan separatis” dalam bersastra memang perlu lebih digairahkan lagi, sebagaimana gerakan komunitas petani atau nelayan di daerah tertentu yang karena peran Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) tertentu jadi bisa menguat sebagai gerakan alternatif dan mampu menggeser mainstream atau standarisasi kelayakan yang diberlakukan oleh legitimator yang ada di atasnya.

Sampai di sini, jujur saja, saya sendiri merasa gagal menciptakan idealisasi semacam itu. Karena sebagai penulis yang dilahirkan dan besar di Kecamatan Wates saya sempat alpa memotret realitas faktual dan fiksional yang ada dalam ranah sosiologis dan antropologis Kabupaten Kulonprogo. Dengan adanya poros gerakan sastra yang digagas Marwanto, pastilah bernilai membangunkan saya dari “tidur panjang” dalam kecenderungan menggumuli eksplorasi estetika yang non-Kulonprogo. Ah, andaikan setiap pengarang merasa terpanggil dan bertanya kepada dirinya sendiri, apa yang sudah disumbangkan dalam pengayaan estetika warna lokal daerahnya? Adakah yang sudah berarti yang ia sumbangkan dalam memperkuat gerakan separatis bersastra yang sangat luhur itu?

Memang, membangun paradigma pengarang yang berbasis warna lokal estetika daerah setempat adalah juga persoalan tersendiri. Betapa pengaruh globalisasi atau apa pun di luar diri pengarang cukup rentan, dan bisa saja membentuk selera estetik yang susah diarahkan ke dalam orientasi khas warna lokal daerah tertentu. Tetapi, bukankah setiap perjuangan harus selalu dicoba, seperti perjuangan menggeser paradigma estetik yang kini saya lakukan sebagai upaya penebusan dosa kultural yang telanjur mengerak. Aih, aih.... ***

*) koran Kedaulatan Rakyat.

Pusat Legitimasi Karya Sastra, Stigma, dan Perayaan Lokalitas*

Satmoko Budi Santoso

PERBINCANGAN hangat yang sekian waktu berlangsung dalam arena “analisis rumpian sastra” di harian Suara Merdeka ini menurut saya ada beberapa hal yang sebenarnya mubazir karena sesungguhnya rasionalisasi karya sastra kita sudah melampaui apa yang “dirumpikan”.

Dalam konteks perbincangan sebagaimana tendangan bola wacana yang ditulis Redyanto Noor dengan judul Kiat Merobohkan Menara Gading (Harian Suara Merdeka/23/72006), misalnya. Bukankah sesungguhnya esensi muatan pikiran Redyanto Noor sudah terumuskan jauh sekian puluh waktu yang silam ketika dunia sastra Indonesia pernah diharu-biru dengan gegar wacana mengenai “sastra kontekstual”? Bukankah salah satu yang dipersoalkan dalam konteks perbincangan mengenai “sastra kontekstual” adalah ambisinya untuk menolak keberadaan “seni dan sastra yang elitis”?

Bagi saya, bentuk rasionalisasi karya sastra yang merupakan bukti counter hegemoni atas menara gading -- yang dalam hal ini mencakup persoalan pengkotak-kotakan generalisasi karya sastra menjadi kategori “sastra pop”, “sastra serius”, “chicklit”, “teenlit” dan sebagainya, serta “pusat-pusat/agen legitimasi karya sastra” -- adalah adanya “gempa” dan “tsunami” keberadaan karya sastra yang secara apa pun mengangkat identitas lokalitas. Dan ingat, sekian tahun belakangan ini, apa yang disebut karya sastra dengan identitas lokal tersebut memang begitu menguat dan membanjir sebagai konsekuensi alternatif perambahan estetika yang membuat orang-orang di dalam “pusat-pusat/agen legitimasi karya sastra” terhenyak, menaruh hormat bukan kepalang, secara ilmiah -- sikap akademik -- atau tidak sama sekali.

Buktinya, dalam agenda Kongres Cerpen Indonesia yang sudah berlangsung sekian kali putaran dan hitungan terakhir kemarin pada 2005 di Provinsi Riau, persoalan identitas lokalitas dalam karya sastra mendapatkan porsi kajian ilmiah yang luar biasa. Di sejumlah koran baik terbitan Jakarta maupun daerah pun dapat dilihat betapa kebijakan redaksional untuk fiksi juga memberikan porsi yang cukup istimewa bagi pengembangan estetika warna lokal. Untuk sementara, out put-nya dapat didata sejumlah nama sastrawan yang kuat karena mengembangkan estetika warna lokal maupun karena aspek domisilinya yang berada di “tingkat lokal” tetapi secara kualitatif sanggup “menghancurkan idealisasi estetika pusat-pusat/agen legitimasi karya sastra”. Taruhlah nama-nama sastrawan seperti Gus tf Sakai, Oka Rusmini, Korrie Layun Rampan, Yetti AKA, Marhalim Zaini, M. Shoim Anwar, Triyanto Triwikromo, S Prasetyo Utomo, Dwi Cipta, Raudal Tanjung Banua, dan Indra Tranggono adalah sebagian gelintir orang yang mampu menerobos “standarisasi estetika menara gading atau pusat-pusat/agen legitimasi karya sastra”.

Dengan kata lain, gerakan sastra Indonesia untuk menggempur menara gading memang tidak sia-sia. Kita ingat, sekian tahun yang silam pernah juga ada polemik mengenai “revitalisasi sastra pedalaman” yang begitu mempengaruhi “pusat-pusat/agen legitimasi karya sastra”. Meskipun apa yang disebut “sastra pedalaman” tidak serta-merta diterima publik karena memang terasa abstrak -- secara konkret gerakan maupun dalam konteks idiom/istilah -- tetapi secara substansial apa yang disebut dengan kelas “sastra pinggiran”, “sastra under dog”, atau “sastra lokal” kemudian benar-benar dapat diterima “pusat-pusat/agen legitimasi karya sastra” maupun semua kalangan.

Karenanya, berdasarkan pemetaan sekilas semacam itu dapat disimpulkan bahwa peran menara gading dalam hal ini “pusat-pusat/agen legitimasi karya sastra” hanyalah sebagai salah satu “pengendali laju perputaran dan politisasi wacana sastra” saja. Mudah-mudahan hipotesa ini tidak terlalu utopis. Mudah-mudahan pula stigma tentang “pusat-pusat/agen legitimasi karya sastra” itu terumuskan sama dalam kepala semua orang: tidak begitu penting. Kalau perlu saja “diakrabi” sebagai bagian kecil dari risiko sebuah pergaulan atau interaksi sosial. Kalaupun “pusat-pusat/agen legitimasi karya sastra” itu memberi penghargaan karena klaim tertentu dengan alasan estetika atau apa pun ya diterima saja. Meminjam bahasa penyair Tan Lioe Ie asal Bali, “Mendapatkan hadiah karena penghargaan yang diberikan ‘pusat-pusat’/agen legitimasi karya sastra’ anggap saja sama dengan ketika menerima parsel.”

Rupa-rupanya, pernyataan penyair Tan Lioe Ie tersebut perlu digaris-bawahi kalau memang spirit kita dalam melahirkan karya sastra tak mau terjebak dalam persoalan standarisasi maupun kelas. Dalam hal ini, persoalan segmentasi adalah persoalan lain, yang merupakan risiko kecil sesudah “karya yang tanpa pretensi” itu lahir. Yang pasti, secara spirit, upaya mengembalikan tradisi kepenulisan sastra kepada “hakikat pencerahan” adalah lebih penting. Hanya saja, secara estetik, pada kurun waktu tertentu sebagai risiko logis efek rasionalisasi karya sastra itu sendiri, akan muncul suatu tren, suatu selera dan mainstream khas, dan itu wajar-wajar saja.

Tetapi, dalam situasi rasionalisasi karya sastra pada era terkini, di mana persoalan selera estetika lokal jelas-jelas menguat, sepertinya memang perlu semakin diperkukuh menjadi satu komitmen khusus. Artinya, menjadi tanggung-jawab moral para sastrawan untuk semakin mengedepankan aspek lokalitas sebagai alternatif perlawanan terhadap gerakan wacana atau apa pun yang maunya selalu disetir oleh “pusat-pusat/agen legitimasi karya sastra”. Saya yakin, jika “pusat-pusat/agen legitimasi karya sastra” dilawan dengan rasionalisasi karya sastra beridentitas lokal, toh pada akhirnya bakalan ngeper juga. Ini bukan gugon tuhon, bukan bualan, karena kita merasakan betapa “pusat-pusat/agen legitimasi karya sastra” sekarang menunjukkan orientasi berubah kiblat: merekalah yang kerepotan menelaah bejibunnya karya sastra beridentitas warna lokal.

Dalam mencermati cara dan metode telaah orang-orang yang terlibat sebagai penggerak “pusat-pusat/agen legitimasi karya sastra” itulah dapat kita buktikan sekaligus dapat kita sangsikan penguasaan pemahaman mereka atas “persoalan mikroskopik”. Karena, seringkali, penguasaan atas teori-teori Barat yang mereka amini tak begitu relevan digunakan sebagai pisau analisis. Karenanya, seringkali juga terbukti, telaah orang-orang yang telanjur terklaim sebagai “dewa-dewa sastra” itu hanya sekadar permukaan alias common sense semata. Tentu, kalau cuma begitu, mahasiswa jurusan apa pun -- tak harus di bidang sastra -- pasti bisa melakukannya.
Wah, celaka. ***

*) Sumber, Suara Merdeka.

Gairah Komodifikasi Sastra dan Operasi Intertekstualitas*

Satmoko Budi Santoso

KESUSASTRAAN mengandung risiko menjadi trendsetter, populis, sebagaimana barang, bernilai komodifikasi. Asumsi semacam ini bisa diidentifikasi dengan maraknya estetika atau lirisisme bahasa yang dirasionalisasikan komunitas sastra tertentu sehingga memuat anasir keseragaman. Dalam konteks inilah, kekhawatiran perihal kesamaan identitas estetika karya sastra kembali muncul, karena seandainya nama pengarang ditutup, maka cita rasa estetika karya sastra yang dihasilkan nyaris sama.

Celakanya, dalam dunia kesusastraan, teoritisasi perihal intertekstualitas malah seolah-olah “melindungi” kerja “peniruan” atau keterpengaruhan semacam itu, apalagi jika kaum sastra melirik anggapan kritikus seperti Julia Kristeva, yang menyatakan bahwa sastra bernilai proses. Keseragaman, demikian Kristeva berasumsi, masih ada batas toleransinya. Tak ada kemutlakan dalam penilaian estetika karya sastra karena otentisitas bisa saja bernilai tipis. Keterpengaruhan pun jadi bernilai mafhum.

Itulah ironisme karya sastra terkini, karya sastra yang berada dalam “banjir bandang” eksperimentasi bahasa, tema, teknik penceritaan, atau apa pun, namun hanya satu atau dua karya yang benar-benar “bisa dibaca”, karena terbebas dari keterpengaruhan, dari kecenderungan kerja “peniruan”. Sebut saja, misalnya, setelah kelahiran novel Saman karya Ayu Utami, maka deretan karya-karya Nukila Amal, Clara Ng, maupun beberapa yang lain pun bisa disejajarkan aspek “kesamaannya”, terutama masalah cara bertutur atau bercerita. Dilema atas persoalan tersebut, bagaimanakah jalan keluarnya?

Secara serampangan, bolehlah diasumsikan bahwa dalam kurun waktu beberapa tahun terakhir ini pertumbuhan kritik sastra bisa dibilang mengkhawatirkan: hampir tak ada kritik sastra yang bisa membahas dengan komprehensif, dengan telaah yang serius, untuk mengimbangi fluktuasi atau surplus karya sastra. Karenanya, kerja kritikus sastra sangat lazim dipertanyakan, juga digugat. Berkaitan dengan operasi intertekstualitas, apakah masih mungkin dikerjakan oleh para kritikus sastra Indonesia yang cukup lama pasif?

Tampaknya, di luar persoalan isu politik sastra, yang perlu dibereskan terlebih dahulu adalah rasionalisasi estetika karya yang keliru, yang memuat anasir keseragaman tersebut. Karena, bagaimana pun, kesusastraan berhadapan dengan realitas dua kelompok pembaca: pertama, pembaca yang diasumsikan berwawasan sastra, dan kedua pembaca awam yang menikmati kesusastraan dalam substansinya sebagai cerita. Basis penciptaan karya sastra yang berformat reproduksi karya sebelumnya dengan sendirinya akan berisiko dicemooh, tak berumur panjang apalagi ketika berhadapan dengan massa pembaca yang berwawasan sastra.

Karenanya, penumbuhan gairah kritik sastra pun memang bernilai mutlak. Saya termasuk orang yang setuju dengan persepsi penyair Amien Wangsitalaja, penulis buku puisi Kitab Rajam (Indonesia Tera, 2000) dan Perawan Mencuri Tuhan (Pustaka Sufi, 2004) yang memaparkan bahwa kebanyakan kritik sastra di Indonesia terlebih lagi yang ada di koran kerap terjebak sebagai kritik sastra impresif, hanya bernilai kupasan secara permukaan. Bukan kritik sastra yang mampu mengoperasikan berbagai teori secara komprehensif.

Namun, melihat fenomena keterpengaruhan karya sastra yang terus menggejala sampai sekarang, sekalipun bernilai kritik sastra impresif, tampaknya tetap harus dikedepankan. Minimal, sebagai upaya mengondisikan operasi intertekstualitas secara rutin sebagai risiko mengantisipasi “peniruan” dan keterpengaruhan estetika karya yang semakin merajalela.

Dengan sendirinya, kerja kritikus sastra impresif setidaknya bisa mengerem intertekstualitas, karena selanjutnya, diharapkan publik yang luas juga bisa berperan menanggapi secara lebih kritis. Upaya ini akan jauh lebih baik jika dibandingkan dengan tiadanya kritik sastra, baik yang impresif maupun yang komprehensif, karena mahasiswa sastra pun mungkin malu dan tidak percaya diri untuk menulis -- untuk tidak mengatakannya kurang menguasai teori? Padahal, sebetapa pun impresifnya, kritik sastra bisa bernilai stimulan bagi perkembangan estetika karya itu sendiri. Juga bisa menjadi polemik yang berkepanjangan seperti yang pernah melanda pada periode keterpengaruhan atas wacana teks-teks “puisi gelap” ala penyair Afrizal Malna.

Dalam konteks ini pula perlu ditegaskan, wilayah estetika bukanlah wilayah yang sulit dinilai karena dianggap bebas nilai, sebagaimana asumsi beberapa kreator dan kritikus sastra Indonesia sendiri. Wilayah estetika tetap berada dalam koridor yang sah dinilai dan “dihakimi”, jelas bukan wilayah yang terbebaskan dari perangkat operasionalisasi tumpukan teori.

Tentu saja, kerja-kerja kreatif berupa kritik sastra yang serius adalah sebuah langkah antisipasi yang urgen bagi pertumbuhan estetika karya sastra Indonesia di kemudian hari, supaya masa depan kesusastraan Indonesia tidak berada dalam kekhawatiran telikung cita-rasa keseragaman estetika dan identitas karya karena macetnya kerja kritik atau operasi intertekstualitas itu sendiri?

Kita tahu, kesusastraan Indonesia sungguh masih sangat mungkin berkembang lebih baik lagi dan memunyai posisi tawar yang juga lebih baik di mata sastra dunia. Apalagi jika secara internal, di Indonesia, para sastrawannya membiasakan diri dengan kerja disiplin antiketerpengaruhan, niscaya akan semakin meninggikan derajat posisi tawar pencapaian kualitas karya sastranya. Jadi, tak hanya dicibir dengan ungkapan khas para sastrawan bule yang beberapa kali saya temui, “Sepuluh tahun pertumbuhan sastra Indonesia, ternyata hanya lahir satu karya yang betul-betul merupakan karya sastra.”
Wah, wah, wah…. ***

*) dimuat dikoran Media Indonesia

Membedah Anatomi Cerpen Indonesia: Antara Kompleksitas Estetika dan Wilayah Sosialisasi*

Satmoko Budi Santoso

CERITA pendek (cerpen) Indonesia bersama eksistensi kritikusnya ternyata bisa menggelembung sebagai wacana yang bernilai gunjingan di warung-warung kopi atau melalui SMS. Namun, pastilah bisa juga diperdebatkan, sebagai konsekuensi penelaahan, setidaknya terepresentasi dalam tajuk Kongres Cerpen Indonesia III, 11-13 Juli 2003 yang silam, di Taman Budaya Lampung. Atas jasa Dewan Kesenian Lampung yang memfasilitasi dan mengakomodir pertemuan tersebut, kegelisahan acuan dan format estetik cerpen Indonesia terjembatani, baiklah, bisa dimulai dengan argumentasi Nirwan Dewanto (ND) sebagai Ketua Redaksi Jurnal Kebudayaan Kalam yang mengusung idealisasi estetik bangunan sebuah cerpen.

Bagi ND, cerpen yang standar adalah cerpen yang mempertahankan fiksionalitasnya sehingga “aku-pengarang” tertuntut berkompromi dengan bahasa yang selayaknya ditundukkannya. Dalam bahasa ND, “Cerpen adalah bangunan cerita yang menyusut ke titik tak terhingga, dalam penciptaan mikrokosmos. Konsekuensinya, ‘aku-pengarang’ harus berunding dengan narator dalam cerita, sekaligus untuk memilin realitas pada unitnya yang paling sublim. Karenanya pula, narator dalam cerita jangan sampai dijajah pengarang: kapan pengarang akan mati, menundukkan diri pada khazanah para tokoh sekaligus bahasa?”

Idealisasi estetik ND , dalam khasanah cerpen terkini, dapat dibaca pada teks-teks cerpen karya Gus tf Sakai, Linda Christanty, Raudal Tanjung Banua, Puthut EA maupun Triyanto Triwikromo. Idealisasi semacam ini, tentu saja, menjadi bernilai kontroversial, karena keluar dari mainstream keingar-bingaran idealisasi estetik lain yang berseberangan dengannya: idealisasi cerpen yang mengembangkan ideologisasi “hal yang tabu” namun terasionalisasikan juga lewat media massa. Wilayah perbincangan yang akhirnya melebar pada sesi peran media massa dan penerbit dalam menyosialisasikan karya sastra dan bagaimananakah potret basis pembaca kesusastraan Indonesia yang sesungguhnya.

Jelas, media massa mesti kompromi dengan aspek moralitas yang diusungnya, sehingga Edy A. Effendi, waktu itu selaku redaktur sastra harian Media Indonesia, begitu hati-hati ketika mempertimbangkan dan akhirnya menolak cerpen Menyusu Ayah karya Djenar Maesa Ayu. Meskipun akhirnya cerpen tersebut juga bisa lolos dalam pertimbangan redaksional Jurnal Perempuan yang sekaligus menempatkannya sebagai Cerpen Terbaik Jurnal Perempuan 2003 dan dibacakan pada malam penutupan kongres.

Nah, ketegangan rasionalisasi estetik semacam inilah yang sebetulnya sangat perlu dipertimbangkan, apalagi kenyataannya, cerpen Indonesia tak memiliki basis pembaca yang -- katakanlah -- “permanen, tetap”. Boleh jadi, kita tak perlu begitu berharap, apakah pluralitas publik yang belum selesai menafsirkan dan memetakan idealisasi estetik cerpen Indonesia pada akhirnya juga harus memahami dan menerima kecarut-marutan pencapaian estetik cerpen Indonesia? Atau, perdebatan dan penelaahan estetik cerpen Indonesia memang lebih baik hanya berlangsung pada selingkaran kaum cerpenis saja, tak mungkinlah terasionalisasi pada publik yang luas?
***

JIKA problem utama cerpen Indonesia justru karena basis pembaca, karena para penulis sudah dianggap mengerti kaidah estetika, meskipun tidak harus khatam gramatika seperti yang muncul pada idealisasi ND, maka basis pembaca yang diangankan sesungguhnya tak harus dengan semangat ideal. Justru massa atau publik yang beragam, yang “anonim” itulah yang diidealkan akan memburu capaian estetik cerpen Indonesia dengan pertimbangan kepentingannya sendiri-sendiri. Risikonya, jelas, idealisasi tak bisa didesakkan dengan serta-merta, karena publik pun membawa beban idealisasinya sendiri.

Pengandaian di atas, dalam realisasinya, justru merujuk pada konsep estetik Taufik Ikram Jamil, yang menulis dengan cara ungkap “bahasa ibu”, bahasa kemelayuan, untuk mendekatkan cerpen pada problem keseharian. Dengan kata lain, cerpen tak mendapat beban ideologis berupa idealisasi konsep estetik macam-macam, kecuali kembali pada maksud, pada pretensinya melakukan familiarisasi cerita. Karenanya, jika cerpen terperangkap dalam usungan idealisasi estetik, bisa jadi yang muncul malah estetika penyeragaman, seperti yang dalam amatan para peserta kongres dikembangkan dengan mulia oleh rubrik sastra Koran Tempo.

Saya, Afrizal Malna, Iswadi Pratama, Agus Noor, Edy A. Effendi, Binhad Nurrohmat dan Raudal Tanjung Banua, termasuk orang yang bersepakat bahwa estetisasi yang dipelihara dan dijaga maha ketat oleh rubrik sastra Koran Tempo sangatlah mencemaskan, karena memuat anasir keseragaman. Pola-pola lirisisme bahasa yang dibangun, pencapaian-pencapaian frasa yang ambigu dan metaforis menempatkan cerpen yang satu menjadi “sulit dibedakan” dengan cerpen yang lain sehingga kalau ditutup nama pengarangnya, maka menjadi sulit pula dibedakan sebenarnya karya yang dimuat tersebut adalah karya siapa.

Dalam sebuah obrolan berkelakar di warung kopi seusai kongres, misalnya, kepada Afrizal Malna saya sempat berujar, “Memang, yang justru variatif dan menerima risiko keberjamakan sebagaimana diamanatkan posmodernisme adalah rubrik cerpen harian Kompas dan harian Media Indonesia, karena jika mereka memuat cerpen, sekalipun ditutup namanya, minimal publik sastra masih mengenali siapa penulisnya. Saya kira, di situlah capaian identitas dan otentisitas estetik, bukan risiko ketunggalan sebagai konsekuensi rasionalisasi ruang eksperimen laboratorium bahasa yang dibebankan pada rubrik sastra. Nah, celakanya, bagaimana dengan cerpenis A. Mustofa Bisri, misalnya, yang sudah cukup mempunyai identitas estetik? Apakah lazim jika ia meluruhkan konsep estetik yang dibangunnya sesuai dengan idealisasi yang dikembangkan rubrik cerpen Koran Tempo? Apakah publik yang beragam juga akan mafhum jika media massa justru memperpanjang asumsi intertekstualitas atau kemirip-miripan teks yang satu dengan yang lain?”

Ketegangan perdebatan semacam itulah yang juga mengemuka, membuat Triyanto Triwikromo bersetuju bahwa yang perlu kita tolak adalah upaya penyeragaman. Dengan sendirinya, penolakan seperti yang dimaksud Triyanto lebih pada penafsiran penghancuran mainstream kesusastraan, karena jika terlalu mendesakkan idealisasi sungguh akan berakibat fatal. Bahwa kritikus akan menemukan cerpen yang berada dalam frame idealisasinya, tentu itu adalah soal lain, dan memang itulah yang sebaiknya terasionalisasikan. Kritikus membaca dan bertemu dengan capaian estetik tertentu, lantas menelaahnya. Bukan malah menciptakan koridor standarisasi yang justru berbahaya terhadap pengembangan estetika cerpen Indonesia seluas-luasnya.

Konsekuensi pembedahan anatomi cerpen Indonesia, seperti yang terepresentasikan dalam tema besar kongres ini, mengerucut pada ranah subtilitas dan sublimitas keberhasilan media massa dalam ikut serta mengembangkan estetika, sekaligus menantang capaian estetik cerpen yang belakangan ini lebih pada rasionalisasi “estetika hal yang tabu”. Dalam hal ini, dengan sangat konseptual Djenar Maesa Ayu bersikukuh dengan pendiriannya bahwa “estetika hal yang tabulah” yang ia anggap akan berhasil memotret jiwa zaman (zeit geist). Tak perlu ada sekat ketabuan, juga moralitas yang harus disangga dan dipertahankan ketika urusan ketabuan mengedepan sebagai tawaran estetika.

Terlepas dari beragam nyinyiran, karena beberapa orang menganggap pola estetika semacam itu hanya bernilai sensasi, namun pijakan konsep estetik Djenar cukuplah tegas, dan telah menyumbangkan upaya dekonstruksi paradigma, untuk meruntuhkan konstruksi paradigma pakemistik: mencipta cerpen hanya dengan memperhitungkan wilayah penafsiran pembaca awam, yang diasumsikan menjunjung kaidah moralitas sehingga harus hati-hati jika mau menyentuh wilayah privat mereka. Padahal, kini, wilayah privat semacam itu secara revolusioner telah terkikis dan tinggallah cerpenis merayakan tabularasa wilayah privat mereka. Boleh jadi, akan tetap menemui kesulitan, karena tawaran kompromis media massa tak terelakkan mengemban etika-etika jurnalisme. Namun, sebagai ideologi, menjadi mafhum jika Djenar berusaha memperjuangkannya, dengan diplomasi, misalnya saja, “Pada era keterkungkungan perempuan lahirlah roman Siti Nurbaya. Kini, ketika perempuan bebas merayakan wilayah ketabuannya, lahirlah karya-karya yang sekiranya berada di dalam estetika tersebut.”

Ambang batas eksistensi cerpen Indonesia ada pada tataran yang sangatlah menegangkan: ideologi atau konsep estetik yang mesti berdamai dengan wilayah sosialisasinya sendiri, yakni media massa, pun kritikus sastra yang berkeras kepala memagarinya dengan “penetapan” standarisasi estetika. ***

*) Pernah dimuat di Solo Pos

Sastra dan Keberjarakan Masyarakat*

Satmoko Budi Santoso

DALAM telaah sosiologi kesusastraan, Lucien Goldman menengarai perihal hubungan sastra dan masyarakat sebagai interaksi oposisi biner: berseberangan tetapi tak saling menolak. Masyarakat merespons sastra dan sastra merupakan abstraksi peristiwa kemasyarakatan. Persepsi semacam ini berjalan sebagai bagian interaksi logis antara sastra dan publik pembacanya. Meski saat ini bolehlah dikatakan bahwa karya sastra tetap berada dalam situasi yang selalu memungkinkan “bertengkar dalam posisinya sebagai menara gading”.

Surplus buku-buku karya sastra ibarat banjir bandang pencerahan, namun kebudayaan masyarakat yang tumbuh sekalipun sudah apresiatif seringkali tak meresponsnya secara substantif, secara maksimal. Dalam konteks tertentu memang akan tumbuh asumsi bahwa karya sastra Indonesia ibarat “jalan di tempat”, gagal merasionalisasi dan merevolusi paradigma pembacanya agar berubah. Karenanya pula, di Indonesia, masa pencerahan akibat buku masih berada dalam tanda kutip, terhantam pragmatisme cara berpikir masyarakat yang laten: jauh dari sikap analitik yang berupa keingintahuan pendalaman substansi dan sublimasi makna teks karya sastra yang hadir. Boleh jadi, asumsi Goenawan Mohamad dalam buku Kesusastraan dan Kekuasaan yang terbit puluhan tahun lalu masih berlaku: karya sastra Indonesia dibaca tak lebih dari 15% jumlah penduduk Indonesia.

Padahal, kita tahu, karya sastra Indonesia tak pernah jengah memotret dan mengangkat pelbagai peristiwa sosial-politik, bahkan ketika era Reformasi tiba, misalnya, banyak pula lahir karya sastra yang berbasis tema Reformasi tersebut. Selain pragmatisme yang laten, kendala berat yang lain tampaknya pada apatisme mayoritas masyarakat, yang sungguh-sungguh mengapresiasi teks sastra secara permukaan. Paradigma masyarakat semacam ini secara diam-diam terbentuk sebagai masyarakat antihero yang tak begitu memercayai slogan maupun teks-teks lain kecuali konkretisasi perubahan atas kehidupan.

Sesungguhnya, perbincangan perihal kontrol terhadap basis pembaca inilah yang penting dikritisi, karena pada kenyataannya tingkat apresiasi masyarakat secara umum sepertinya tetaplah berjarak. Esensi karya sastra jarang bisa sampai pada pemahaman publik pembaca, karena karya sastra Indonesia hanya bernilai sebagai “pengisi rehat” sembari minum kopi? Pada dataran praktis, contoh konkretnya, revolusi sosial jauh lebih riil ketimbang revolusi paradigma melalui upaya sosialisasi teks karya sastra. Jika adanya fenomena keberjarakan antara karya sastra dan masyarakat ini diam-diam terus meruncing, maka sepertinya memang ada ketegangan situasional yang khas, bagaikan perang dingin.

Tentu, hal semacam ini diperparah dengan tumpukan karya sastra yang tak diapresiasi secara proporsional oleh para kritikus sastra: satu-satunya orang yang diharapkan mampu menjembatani apresiasi teks sastra ketika berhadapan dengan keawaman publik. Bukan mustahil bahwa sebagian besar karya sastra Indonesia pada akhirnya hanya dibaca oleh orang-orang yang “itu-itu saja”, meskipun keberadaan toko buku bisa penuh dengan kedatangan mahasiswa atau pelajar. Asumsi ringan yang lantas hadir: mahasiswa atau pelajar itulah massa mengambang baru pasca Orde Baru, yang tak terpuaskan apresiasi estetikanya, namun malah tak ada yang menjembatani. Paradigma mengambang pun merajalela. Boleh jadi, untuk menurunkan karya sastra dari “menara gadingnya” tersebut perlu ditengok kembali perihal pencapaian estetika yang terus bergulir, yang kemungkinan masih diharap oleh paradigma publik.

Kini juga terlihat, bahwa karya sastra telah meluaskan eksplorasinya tidak hanya pada basis cerita soal dunia sosial-politik yang menegangkan, namun juga lahir teks-teks karya sastra yang tak begitu dibebani masalah sosial-politik melainkan pada pencapaian muatan ceritanya saja. Dengan kata lain, teks adalah cerita itu sendiri, pencapaian estetikanya lebih pada otentisitas sintaksis kalimat, misalnya. Hal ini terjadi pada cerpen-cerpen karya Joni Ariadinata dalam buku Kali Mati (Bentang Budaya, 1999), Kastil Angin Menderu (Indonesia Tera, 2000), dan Air Kaldera (Aksara, 2001). Bisa juga pada kekhasan tema: ini terbukti pada merebaknya karya sastra berbasis local color yang secara tidak langsung juga teridentifikasi sebagai aplikasi teoritisasi yang demam pada wacana cultural studies.

Tentu, ada yang menarik sebagai bahan perbincangan soal tarik-ulur basis cerita semacam ini, sebagaimana yang juga pernah dipaparkan oleh sastrawan Agus Noor bahwa ada muatan orientasi karya sastra terkini yang cenderung easy going, tak multibeban tafsir. Penggarapan aspek “seni bercerita” atau the art of fiction benar-benar terjalankan, seperti yang secara tersirat disarankan oleh Goenawan Mohamad dalam pengantar buku Dua Tengkorak Kepala (Kumpulan Cerpen Pilihan Harian Kompas Tahun 2000) untuk kembali melirik pencapaian estetika karya-karya yang lahir dari tangan orang-orang yang seangkatan dengan sastrawan Idrus, yang lebih menitikberatkan pada kepiawaian kecenderungan teknik literer atau narasi cerita. Bukan beban sosial-politik sebagai ideologi. Untuk itulah, tampaknya, ada dua kemungkinan dalam sosialisasi cerita sehingga keberadaan karya sastra bisa tak terhenti sebagai “alternatif dunia utopia”.

Pertama, disosialisasikannya cerita atau karya sastra yang betul-betul ekspresif, tak bermuatan ideologi dan bias kepentingan apa pun. Kedua, alternatif lahirnya cerita-cerita yang eksperimental, baik pada ranah tema, struktur penceritaan, atau apa pun. Kejenuhan terhadap basis tema yang berkelindan pada masalah kekerasan (politik-struktural sistemik-praksis kehidupan masyarakat) menuntut ruang katarsis lain yang lebih bernilai sebagai pencerahan hakiki dan merupakan kebutuhan masyarakat itu sendiri. Bolehlah jika ada seloroh bahwa kekerasan secara apa pun jauh lebih dramatik dan realistis, karya sastra sepantasnya memikirkan diri untuk secara sengaja berjarak. Rupanya, verbalitas memang tak bisa dilawan dengan verbalitas. Verbalitas justru bisa disikapi dengan pemahaman perspektif sublimasi atau pemaknaan substantif/mendalam.

Sampai di sini, ilusi sebagai akibat dilema perihal eksistensi buku karya sastra kembali muncul. Belum tentu buku yang telah menjadi best seller di Indonesia bisa dimengerti secara substansial. Nah…

Apalagi, secara sosiologis, ada kecenderungan sebagian besar masyarakat Indonesia yang bergerak sebagai “masyarakat abstain”. Yakni, masyarakat yang tak memunyai pilihan terhadap kebijakan-kebijakan yang sifatnya politis. Ini lebih disebabkan oleh karena kegagalan grand design implementasi pemahaman perihal politik. Dalam beberapa hal, kegagalan mewujudkan identitas nation character juga memengaruhi sikap abstain apalagi ditambah dengan apatisme yang disebabkan tak pernah dewasanya pandangan politik berbangsa sehingga meruncing menjadi persoalan etnisitas yang meledak di mana-mana. Itulah yang di antaranya juga membuat masyarakat justru imun terhadap situasi konkret dan akhirnya malah menutup diri dengan suara abstain.

Tentu saja, fakta di atas juga menjadi tambahan pijakan eksistensi ke depan: sebenarnya mau dibawa ke mana wajah kesusastraan Indonesia di tengah kemungkinan menguatnya masyarakat abstain? Tentu, jika merunut pada aspek psikologi, masyarakat abstain memerlukan hal-hal yang sifatnya pasti. Masyarakat abstain tak perlu penggombalan persoalan. Situasi atas kehendak pragmatislah yang mempola paradigma masyarakat abstain, oleh sebab itu kesusastraan mesti berkompromi dengannya. Sikap kompromis yang paling mungkin diambil adalah sikap kompromis yang mempedulikan kondisi psikologisasi masyarakat abstain agar tergerak pada cerita-cerita yang eksperimentatif, yang mewakili dunia mereka sendiri yang katakanlah penuh kebekuan.

Pada akhirnya, yang dibutuhkan pada masa kekinian adalah cerita yang menyandarkan diri pada semangat eksperimentasi yang tinggi, mengejar target realitas cerita terepresentasi dengan sahih. Setidaknya, lewat jalan itulah masyarakat abstain akan terwacanakan sebagai masyarakat yang memang hadir sebagai pembaca substantif.

Siapa pun masih percaya, sikap apresiatif masih bisa tumbuh sebagai kemungkinan paling rasional dalam mendesakkan semangat eksperimen dan di situlah sastra terkini mengambil perannya. ***

*) Pernah dimuat di Media Indonesia.

Sapto Raharjo dan “Kewirausahaan Alternatif”

Satmoko Budi Santoso*

SENIMAN Sapto Raharjo yang merupakan salah satu ikon budaya Yogya telah meninggal dunia pada hari Jumat 27 Februari 2009 lalu. Tentu saja, hal tersebut merupakan fakta otentik yang tak dapat diganggu-gugat. Setelah sekitar dua minggu dirawat di rumah sakit akibat “penyakit dalam” yang dideritanya, akhirnya Sapto Raharjo pun berpulang kepada Tuhan. Banyak hal yang ia tinggalkan sebagai hikmah dan sepantasnya mendapatkan kelayakan apresiasi.

Bagi saya, Sapto Raharjo adalah seniman yang memang total bergelut dengan bidang yang diyakininya sekaligus memunyai perspektif menarik dalam mendudukkan kesenian. Di tangan Sapto, idealisme kesenimanan yang dikukuhinya sanggup bersinergi dengan sepak terjang “kewirausahaan alternatif” yang juga diyakininya. Totalitasnya dalam merintis bertahun-tahun agar eksistensi gamelan mampu sebagai “duta bangsa” dalam pergaulan kreatif-estetik berskala internasional adalah salah satu bukti upaya “kewirausahaan alternatif” yang menarik. Risiko logis karena upaya Sapto itu pun boleh jadi oleh sekelompok seniman tertentu bakalan dicap “hanya manut funding”, tidak punya karakter khas, dan respons minir lainnya.

Saya kira, siapa pun boleh-boleh saja memunyai komentar tertentu terhadap sepak terjang Sapto semasa berolah kreatif. Hanya saja, satu hal positif yang bisa diadopsi adalah pada sikap profesionalitasnya dalam membangun jaringan kesenian, tidak hanya di tingkat lokal yakni Indonesia, bahkan dunia. Dengan sendirinya, diplomasi kritis atas akulturasi kebudayaan berbagai negara memang selalu dikondisikan oleh Sapto, setidaknya melalui pencapaian kualitatif even tahunan seperti Yogyakarta Gamelan Festival.

Sekilas menengok ke belakang, kita ingat, pada awal Sapto merintis even Yogyakarta Gamelan Festival adalah pada pertengahan era 1990-an, di saat kegairahan kehidupan berkesenian di Yogyakarta “belum begitu sadar pentingnya berjejaring dengan dunia luar negeri”. Kebanyakan acara-acara kesenian yang berlangsung pada waktu itu adalah berskala lokal, dalam pengertian tingkat Yogya saja. Kalau pun ada acara-acara yang berskala nasional paling hanya satu-dua, itu pun untuk jenis kesenian tertentu yang terkesan “kelas atas”. Rupanya, Sapto menerobos kemungkinan stagnasi rasionalisasi dan diplomasi karya seni yang terjadi saat itu. Perspektif dan paradigma kreatif Sapto pun keluar dari mainstream keberadaan karya seni yang menguat pada masa itu. Pastilah, jalan untuk merintis apa yang diyakini Sapto dalam mendiplomasikan karya seni pada publik yang cenderung “tak mikroskopik” amatlah berat. Apalagi, pada saat itu, arus kultur jejaring berkesenian yang tumbuh masih cenderung “manual”, belumlah seperti sekarang yang relatif “sudah sadar perangkat digital”: penggunaan internet adalah pintu termudah dalam mengakses dunia.

Atas paparan tersebut bolehlah dibayangkan kerepotan-kerepotan teknis dan kultural atas rintisan diplomasi kebudayaan antarnegara yang dibangun Sapto, yang mau tidak mau atau sedikit-banyak diam-diam juga menginspirasi sejumlah seniman atau kelompok kesenian lain sehingga berada di jalur “kewirausahaan alternatif” sebagaimana yang diimani Sapto. Katakanlah, setelah pertengahan era 1990-an, peristiwa kesenian berjenis “non-kelas atas” di Yogya terus diwarnai even-even yang satu-dua mulai berskala internasional. Hal itu terjadi sampai kini. Dengan kata lain, “jiwa entrepreneur” dalam konteks pengembangan karya seni kiranya pada era sekarang memang perlu menjadi perhatian khusus. Bagaimana seni dan budaya Indonesia yang adiluhung dapat berdiplomasi dengan seni dan budaya luar negeri yang kompleks jika kreatornya justru menolak arus jiwa zaman yang semestinya diarungi?

Tentu saja, hal yang relevan sebagai upaya pengembangan kesenian (terutama tradisi) yang mengarus pada jiwa zaman tertentu sepantasnya diikuti sesuai proporsionalitas yang memang menjadi tuntutan. Boleh jadi, pada akhirnya, kodrat karya seni memang harus berkompromi dengan varian manajerial sebagai bentuk “kewirausahaan alternatif” yang logis, karena pada kultur Barat pun sebagian besar seniman menunjukkan jati diri dengan mau membuka diri berdiplomasi dengan negara-negara lain atau dengan kata lain membangun sikap kondusif terhadap upaya internasionalisasi karya seni. Baik seni tradisi maupun seni kontemporer.

Ya, jalan mulia dalam mengolaborasikan dan mendiplomasikan karya seni Indonesia dan dunia telah ditempuh Sapto, tentu menjadi kewajiban bagi kita untuk menindaklanjuti. Kini berbagai kemudahan teknis relatif sudah tersedia, apakah perspektif dan paradigma berkesenian kita tetap “manual” dan “konservatif” terus? Memang, itu persoalan pilihan, dan sepanjang hidupnya Sapto Raharjo telah membentangkan resep kreatif yang sebenarnyalah bisa “ditiru” oleh siapa pun. Kini dan di masa depan…. ***

*) Pemerhati seni. Direktur Lembaga Pemberdayaan dan Kreativitas “Amarta” Bantul.