Senin, 04 Mei 2009

Pusat Legitimasi Karya Sastra, Stigma, dan Perayaan Lokalitas*

Satmoko Budi Santoso

PERBINCANGAN hangat yang sekian waktu berlangsung dalam arena “analisis rumpian sastra” di harian Suara Merdeka ini menurut saya ada beberapa hal yang sebenarnya mubazir karena sesungguhnya rasionalisasi karya sastra kita sudah melampaui apa yang “dirumpikan”.

Dalam konteks perbincangan sebagaimana tendangan bola wacana yang ditulis Redyanto Noor dengan judul Kiat Merobohkan Menara Gading (Harian Suara Merdeka/23/72006), misalnya. Bukankah sesungguhnya esensi muatan pikiran Redyanto Noor sudah terumuskan jauh sekian puluh waktu yang silam ketika dunia sastra Indonesia pernah diharu-biru dengan gegar wacana mengenai “sastra kontekstual”? Bukankah salah satu yang dipersoalkan dalam konteks perbincangan mengenai “sastra kontekstual” adalah ambisinya untuk menolak keberadaan “seni dan sastra yang elitis”?

Bagi saya, bentuk rasionalisasi karya sastra yang merupakan bukti counter hegemoni atas menara gading -- yang dalam hal ini mencakup persoalan pengkotak-kotakan generalisasi karya sastra menjadi kategori “sastra pop”, “sastra serius”, “chicklit”, “teenlit” dan sebagainya, serta “pusat-pusat/agen legitimasi karya sastra” -- adalah adanya “gempa” dan “tsunami” keberadaan karya sastra yang secara apa pun mengangkat identitas lokalitas. Dan ingat, sekian tahun belakangan ini, apa yang disebut karya sastra dengan identitas lokal tersebut memang begitu menguat dan membanjir sebagai konsekuensi alternatif perambahan estetika yang membuat orang-orang di dalam “pusat-pusat/agen legitimasi karya sastra” terhenyak, menaruh hormat bukan kepalang, secara ilmiah -- sikap akademik -- atau tidak sama sekali.

Buktinya, dalam agenda Kongres Cerpen Indonesia yang sudah berlangsung sekian kali putaran dan hitungan terakhir kemarin pada 2005 di Provinsi Riau, persoalan identitas lokalitas dalam karya sastra mendapatkan porsi kajian ilmiah yang luar biasa. Di sejumlah koran baik terbitan Jakarta maupun daerah pun dapat dilihat betapa kebijakan redaksional untuk fiksi juga memberikan porsi yang cukup istimewa bagi pengembangan estetika warna lokal. Untuk sementara, out put-nya dapat didata sejumlah nama sastrawan yang kuat karena mengembangkan estetika warna lokal maupun karena aspek domisilinya yang berada di “tingkat lokal” tetapi secara kualitatif sanggup “menghancurkan idealisasi estetika pusat-pusat/agen legitimasi karya sastra”. Taruhlah nama-nama sastrawan seperti Gus tf Sakai, Oka Rusmini, Korrie Layun Rampan, Yetti AKA, Marhalim Zaini, M. Shoim Anwar, Triyanto Triwikromo, S Prasetyo Utomo, Dwi Cipta, Raudal Tanjung Banua, dan Indra Tranggono adalah sebagian gelintir orang yang mampu menerobos “standarisasi estetika menara gading atau pusat-pusat/agen legitimasi karya sastra”.

Dengan kata lain, gerakan sastra Indonesia untuk menggempur menara gading memang tidak sia-sia. Kita ingat, sekian tahun yang silam pernah juga ada polemik mengenai “revitalisasi sastra pedalaman” yang begitu mempengaruhi “pusat-pusat/agen legitimasi karya sastra”. Meskipun apa yang disebut “sastra pedalaman” tidak serta-merta diterima publik karena memang terasa abstrak -- secara konkret gerakan maupun dalam konteks idiom/istilah -- tetapi secara substansial apa yang disebut dengan kelas “sastra pinggiran”, “sastra under dog”, atau “sastra lokal” kemudian benar-benar dapat diterima “pusat-pusat/agen legitimasi karya sastra” maupun semua kalangan.

Karenanya, berdasarkan pemetaan sekilas semacam itu dapat disimpulkan bahwa peran menara gading dalam hal ini “pusat-pusat/agen legitimasi karya sastra” hanyalah sebagai salah satu “pengendali laju perputaran dan politisasi wacana sastra” saja. Mudah-mudahan hipotesa ini tidak terlalu utopis. Mudah-mudahan pula stigma tentang “pusat-pusat/agen legitimasi karya sastra” itu terumuskan sama dalam kepala semua orang: tidak begitu penting. Kalau perlu saja “diakrabi” sebagai bagian kecil dari risiko sebuah pergaulan atau interaksi sosial. Kalaupun “pusat-pusat/agen legitimasi karya sastra” itu memberi penghargaan karena klaim tertentu dengan alasan estetika atau apa pun ya diterima saja. Meminjam bahasa penyair Tan Lioe Ie asal Bali, “Mendapatkan hadiah karena penghargaan yang diberikan ‘pusat-pusat’/agen legitimasi karya sastra’ anggap saja sama dengan ketika menerima parsel.”

Rupa-rupanya, pernyataan penyair Tan Lioe Ie tersebut perlu digaris-bawahi kalau memang spirit kita dalam melahirkan karya sastra tak mau terjebak dalam persoalan standarisasi maupun kelas. Dalam hal ini, persoalan segmentasi adalah persoalan lain, yang merupakan risiko kecil sesudah “karya yang tanpa pretensi” itu lahir. Yang pasti, secara spirit, upaya mengembalikan tradisi kepenulisan sastra kepada “hakikat pencerahan” adalah lebih penting. Hanya saja, secara estetik, pada kurun waktu tertentu sebagai risiko logis efek rasionalisasi karya sastra itu sendiri, akan muncul suatu tren, suatu selera dan mainstream khas, dan itu wajar-wajar saja.

Tetapi, dalam situasi rasionalisasi karya sastra pada era terkini, di mana persoalan selera estetika lokal jelas-jelas menguat, sepertinya memang perlu semakin diperkukuh menjadi satu komitmen khusus. Artinya, menjadi tanggung-jawab moral para sastrawan untuk semakin mengedepankan aspek lokalitas sebagai alternatif perlawanan terhadap gerakan wacana atau apa pun yang maunya selalu disetir oleh “pusat-pusat/agen legitimasi karya sastra”. Saya yakin, jika “pusat-pusat/agen legitimasi karya sastra” dilawan dengan rasionalisasi karya sastra beridentitas lokal, toh pada akhirnya bakalan ngeper juga. Ini bukan gugon tuhon, bukan bualan, karena kita merasakan betapa “pusat-pusat/agen legitimasi karya sastra” sekarang menunjukkan orientasi berubah kiblat: merekalah yang kerepotan menelaah bejibunnya karya sastra beridentitas warna lokal.

Dalam mencermati cara dan metode telaah orang-orang yang terlibat sebagai penggerak “pusat-pusat/agen legitimasi karya sastra” itulah dapat kita buktikan sekaligus dapat kita sangsikan penguasaan pemahaman mereka atas “persoalan mikroskopik”. Karena, seringkali, penguasaan atas teori-teori Barat yang mereka amini tak begitu relevan digunakan sebagai pisau analisis. Karenanya, seringkali juga terbukti, telaah orang-orang yang telanjur terklaim sebagai “dewa-dewa sastra” itu hanya sekadar permukaan alias common sense semata. Tentu, kalau cuma begitu, mahasiswa jurusan apa pun -- tak harus di bidang sastra -- pasti bisa melakukannya.
Wah, celaka. ***

*) Sumber, Suara Merdeka.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar